SAMPAI DI SINI
Karya
: Melati Nur Fajriani-3500007
“dan fitnah itu lebih besar bahayanya
dari pembunuhan (Al-Baqarah : 191)”
Melihat tempat ini sama seperti
melihat penjara. Bayangan saat aku terkurung dan tak bebas untuk berkelana.
Merasa hina dengan jutaan pengalaman
kawan yang luar biasa. Ini bukan yang pertama tapi bagaikan berawal kembali
dari titik semula. Merasa menanggung semua beban yang ada seorang diri saja.
Sakit hati melihat semua tawa canda yang ada. Sulit berbaur, sulit menerima.
Tempat ini mengucilkanku dari dunia seperti ulat kecil di tengah hutan
belantara. Ulat yang hanya bisa makan dan merusak dedaunan yang indah demi
berubah menjadi sesuatu yang cerah. Ya, inilah MAN Insan Cendekia. Tempat di
mana kakak perempuanku pernah bersekolah, dan aku penerusnya.
Resmania Arini. Panggil saja aku
Ares, seperti biasa. Akrab saja. Kini aku tengah menjalani studi di kelas XI
MAN Insan Cendekia. Sekolah berasrama yang dibangun sejak 75 tahun yang lalu, di
mana aku akan tinggal selama tiga tahun di sini. Beruntung aku sudah memasuki
tahun kedua. Senangnya.
Kesan yang setiap orang rasakan
ketika tinggal di sini berbeda-beda. Aku sendiri menganggapnya angker karena
gedung-gedung asrama ditutupi pohon seperti hutan belantara. Tapi apa mau
dikata, di sinilah aku, di tempatku menuntut ilmu.
Aku masih 15 tahun saat masuk ke
sekolah ini, termuda. Teman-temanku memiliki usia yang jauh di atasku. Yang
paling dekat saja bedanya mencapai 2 tahun. Ya, aku memang terlalu cepat masuk
sekolah dasar waktu dahulu. Lima tahun usiaku saat itu, dan teman-temanku yang
lain kebanyakan berusia tujuh tahun ke atas…
Perjalanan setahun kebelakang cukup
berkesan dalam benakku. Semua hari yang kujalani bersama angkatan yang berisik.
Trouble pula katanya. Ah, tak peduli
apapun yang dikata orang. Aku bahagia ada bersama mereka.
Ini hari Jumat, hari yang aku tunggu
karena sudah menjelang hari Sabtu dan Minggu. Kenapa? Karena aku bisa
menghubungi orang tuaku yang ada di Bandung. Maklum, aku hanya bisa berjumpa
dengan mereka via suara. Tapi, Jumat
ini berbeda, hari Sabtu yang kutunggu berbeda dengan jadwal yang biasanya.
Sabtu dan Minggu ini akan diadakan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS. Di
luar sekolah. Jadi, otomatis aku tak bisa menghubungi keluargaku. Baiklah, akan
aku coba saja menuruti jadwal sebagaimana adanya.
***
Malam berlalu tanpa aku bisa
mengabari keluargaku bahwa aku akan mengikuti LDK OSIS bersama angkatanku
nanti. Aku takut ibu khawatir menunggu telepon dariku yang tak kunjung datang.
Tapi biarlah, minggu ini saja.
“Ares, tidur yuk! Sudah malam. Besok
kan kita berangkat pagi-pagi sekali. Jangan sampai kamu sakit karena kurang
tidur nanti.” Tiba-tiba suara Ina, teman kamarku, membuyarkan lamunan
kerinduanku.
“Ya, In, sebentar lagi aku tidur.
Duluan saja!” jawabku asal.
“Awas, kamu, begadang!” katanya
mencoba mengancam.
Kuabaikan kata-kata Ina itu. Ah, aku
rindu Ayah Ibu.
***
“Inaaaaaaaa! Ayo bangun!!!!!!!
Sudah subuh!!!!!!!!!!!! Nanti telat berangkat bagaimana?!” teriakku di pagi
buta membangunkan Ina.
Ah iya,
aku harus membangunkan Ratna, dia kan teman sekelompokku. Pikirku teringat
tiba-tiba.
Sebenarnya sekarang masih jam
setengah empat, tapi Ina memang susah untuk bangun dari mimpi-mipminya yang ia
bilang selalu indah, maka dari itu aku membangunkannya jauh-jauh dari waktu
subuh.
“Ih!!!! Apaan sih!!!!! Aku masih
ngantuk tau! Lagipula ini baru jam stengah empat, Ares, kamu jangan bohong!”
sergah Ina yang merasa teganggu.
“Ya, bangunlah, Na! LDK loh, masa
kamu jam segini masih tidur? Telat baru tahu rasa kamu.”
“Aku tidak akan telat, aku kan
bisa mandi kilat.”
“Bukan masalah mandinya, tapi
antrenya. Kinan dan Ririn kan mau mandi juga.”
“Ya sudahlah, yang telat kan aku,
kamu tidak usah repot-repot memikirkan aku seperti itu.”
Aku menyerah membangunkannya, “Ya
sudah, aku mau membangunkan Ratna dulu.” Sambil menyiapkan barang dan siap-siap pergi ke masjid untuk shalat subuh
berjamaah. Barang-barang yang kubawa hanya sedikit. Hanya berisi baju, jaket,
dan keperluan lain yang ringan.
Aku melihat tiga truk tentara sudah
berjejer di lapangan parkir. Sudah siap menyeret kami ke hutan tempat LDK
nanti.
Shalat subuh berjalan sebagaimana
biasanya. Teman-teman angkatanku juga sudah berkumpul semua, termasuk Ina yang
akhirnya bisa melepaskan mimpi-mimpi indahnya.
Pembagian kelompok sudah diketahui
hasilnya, setelah persiapan yangdilakukan kemarin. Salah satu teman dekatku,
Ratna, sekelompok denganku. Aku cukup senang.
***
Kami sampai setelah menempuh
perjalanan selama satu setengah jam. Lokasi LDK tahun ini terletak di Kabupaten
Bogor, di Gunung Pancar, di kaki Gunung Salak. Setelah tiga puluh menit
beristirahat, untuk sejenak menghirup udara sejuk, kami mendirikan tenda.
Hari pertama diisi dengan outbond,
perkelompok. Aku yang baru kali pertama akan mencoba, merasa tertarik dan
bersemangat.
Berbagai permainan aku coba dengan
perasaan yang gembira bersama teman-teman sekelompokku sampai akhirnya aku
jatuh di satu permainan. Trustfall namanya.
Seketika sekitarku gelap, pekat. Aku
limbung dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
***
Aku bangun dari berbaring. Hei,
badanku terasa sangat ringan. Baru kali ini aku merasa seperti….melayang.
“Kamu sudah bangun?” Tanya seseorang
yang entah dimana.
Aku yang bingung hanya celingukan
mencari sumber suara.
“Cobalah berjalan keluar, aku di
luar.” Lanjutnya.
Merasa penasaran, aku mengikuti
kata-katanya. Namun, aku terkejut ketika aku melihat tubuhku melesat dengan
cepat. Ada apa ini?
“Selamat datang di dunia maya! Aku
Angga.” Sambutnya.
“Dunia maya? Facebook? Twitter? E-mail?
Aku masuk ke dunia maya? Bagaimana mungkin? Apa semua orang bisa masuk ke dunia
maya ini? Lantas, mana teman-teman facebook-ku? Followers twitterku? Mana?
Mana?” tanyaku bertubi-tubi.
“Sssssstttttt….. Bisa gak sih kamu nanyanya
satu per satu? Aku bingung harus jawab yang mana.” Katanya marah.”Ini bukan
facebook atau semacamnya. Ini dunia lain.” Jelasnya.
“Dunia lain?” tanyaku bingung.
“Ya, kamu pingsan. Tengoklah ke
dalam. Tubuh kamu sedang berbaring. Tadi kamu jatuh, bukan?” tanyanya.
Kutengokkan kepalaku ke dalam tenda
dan sungguh terkejut melihat tubuhku yang terbujur lemas dengan sedikit luka
lebam di kepala. Aku terpaku. Bagaimana mungkin dunia semacam ini benar-benar
ada? Aku pikir hanya cerita novel-novel belaka. Tapi kini aku merasakannya.
“Angga, apa aku akan mati?” tanyaku
ragu. Aku tak ingin mendengar jawaban yang tak kuinginkan.
“Sudah pasti.” Jawaban itu
mengejutkanku. “Semua yang bernyawa di dunia ini pasti akan mati. Begitu juga
kamu. Tapi aku tidak tahu kapan kamu akan mati. Kelihatannya kamu baik-baik
saja. hanya sedikit lebam di kepala.” Kini jawaban itu sedikit membuatku
tenang.
“Aku takut. Kamu sendiri siapa?
Sedang apa di sini?” tanyaku lagi.
“Ih, kamu ini tuli, ya? Aku kan
sudah bilang, namaku Angga. Soal sedang apa aku di sini, itu semua urusanku.
Bukan urusanmu.” Jawabnya ketus.
“Hei, aku bertanya baik-baik. Bisa
tidak kau sedikit santai? Aku tidak tuli. Maksudku, apa kau malaikat pencabut
nyawa?” pertanyaan bodoh.
“Bodoh! Tentu saja bukan. Aku warga
desa sekitar sini. Aku juga sama sepertimu. Tapi bukan pingsan, aku koma sejak
tiga minggu yang lalu, dirawat di rumah.” Jawabnya menjelaskan, walaupun dengan
nada ketusnya yang hanya sedikit saja berubah. “Ikut aku!” pintanya tiba-tiba.
“Mau kemana? Tubuhku bagaimana?”
“Sudahlah, tubuhmu akan baik-baik
saja.”
“Kau belum menjawab kita akan
kemana.”
“Baiklah, kita akan berkeliling ke
tenda-tenda teman-temanmu.”
“Untuk apa?”
“Kamu terlalu banyak bertanya. Ikut
saja! Mungkin aku bisa memilih beberapa temanmu yang cantik dan menarik.”
Katanya sambil tersenyum licik.
Memilih aman, aku mengikutinya saja.
walaupun aku belum mengenalnya tapi apa salahnya.
“Sini, dengarkan ini! Mungkin ada
hubungannya denganmu.” pintanya
“Ada apa sih?”
“Dengarkan saja!”
Aku mengikuti perintahnya. Aku
berdiri di samping tenda Ina, karena kebetulan ia berbeda kelompok denganku.
Sayup-sayup aku mendengar suara Ina. Aku belum bisa mendengar apa yang
dikatakannya dengan jelas. Aku memutuskan untuk memasuki tenda.
“Kasian, ya, Ares. Kenapa dia sampai
bisa jatuh seperti itu?” Tanya Ina pada Kinan.
“Mungkin Ares ragu ketika dia
menjatuhkan diri. makanya teman-temannya ragu untuk sanggup menangkapnya atau
tidak. Lagipula, Ares kan kurus, mna mungkin dia tidak tertahankan berat
badannya?” jawab Kinan mengira-ngira.
“Bisa jadi begitu.” Jawab Ina
manggut-manggut.
Tapi, ada yang aneh, Desi tidak
berkomentar apa-apa. Padahal Desi anggota kelompokku. Padahal, mungkin saja,
bukan, dia mengetahui alasannya.
“Bagaimana, Des, menurut kamu?” tanya
Ina pada Desi.
“Emm..emm..” Desi hanya bergumam.
Seperti sedang mencari alasan.
“Des, menurutmu bagaimana?
Jawablah!” Tanya Ina lagi.
Desi tetap bungkam.
“kamu kenapa, Des?” Tanya Kinan
heran, “Kok wajahmu pucat? Kamu sakit?” lanjutnya.
“Oh, tidak. Aku tidak sakit. Tapi..
sebenarnya.. Aku tahu kenapa Ares bisa sampai jatuh seperti tadi.” Jawab Desi.
Mendengar jawaban Desi, aku terkejut
setengah mati. Sebenarnya, inilah yang ingin aku cari tahu. Kenapa aku sampai
jatuh.
“Aku tahu, sebenarnya ini sebuah
kesengajaan.” Jawab Desi.
Seketika jantungku merasa terhunus.
Kesengajaan apa yang dimaksud Desi? Ada apa ini sebenarnya?
“Sebenarnya, Ratna yang melakukan
ini semua.” Lanjut Desi.
Mana
mungkin apa yang dikatakan Desi itu? Apa benar Ratna yang memintanya untuk
tidak menangkapku? Apa salahku?
“RATNA??????” Tanya Kinan dan Ina
serentak.
“Ya.”
“Ada apa dengan Ratna?”
“Tolong jangan beri tahu Ratna
bahwa aku memberitahu kalian ya.” Pinta Desi memohon. “Aku takut Ratna semakin
membenci Ares nanti.”
“Kami janji, Des.” Kinan dan Ina
menjawab serentak.
“Ratna sempat sakit hati saat
masih kelas satu. Dia bilang bahwa Ares pernah menyalahkannya atas suatu
kejadian yang Ratna sendiri tidak tahu apa masalahnya.”
“Lantas, kenapa Ratna tega
melakukan ini? Ini mengancam nyawa Ares. Bagaimana kalau dia geger otak?”
“Aku juga tidak tahu harus
bagaimana. Aku bingung.”
Mendengar jawaban Desi itu aku
mengingat-ingat kejadian apa yang dimaksudkannya. Beberapa menit kubiarkan saja
Angga di luar. Aku lupa menemukan jawabannya. Tapi tiba-tiba, aku merasa
ditarik . kulihat sekeliling tidak ada orang lain.
“Anggaaaaaaa!!!!!!!! Tolong a….”
leherku terasa tercekat.
“Ares? Kamu kenapa?”
***
Aku
membuka mata. Pusing. Aku ingat kejadian tadi. Apakah itu semua mimpi? Tapi, terasa
sangat nyata.
“Tidak,
bukan mimpi. Aku Angga”
Aku
cari asal suaranya, tapi aku tidak bisa melihatnya.
“Kamu
tidak akan bisa melihatku lagi. Kamu sudah bangun. Cepatlah kau temui Ratna.
Aku mendengar percakapan tadi. Minta maaflah padanya. Aku mau kembali ke rumah.
Aku lelah mendengar cerita tentangmu itu. Selesaikanlah masalahmu dengannya.
Selamat tinggal” ucap Angga.
“Angga?
Kamu sudah pergi?”
Tidak
ada jawaban.
Tiba-tiba
aku teringat kata-kata Angga dan segera berlari menuju tendaku. Kulihat Ratna di
sana yang kaget melihatku berlari menghampirinya.
“Loh,
Ares, kamu sudah bangun?” Tanyanya perhatian. “Bagaimana keadaan kamu? Sudah
baikkan?” katanya lagi sambil memasang wajah yang sangat perhatian.
“Apa
salahku sampai kamu membuatku seperti ini?!” tanyaku sedikit membentak.
Mendengar
ucapanku itu, wajah Ratna memucat. Beberapa detik kemudian berubah merah. “Kau
pernah menuduhku mencuri uangmu. Padahal aku sama sekali tidak tahu. Maafkan
aku. Harusnya aku memang tidak melakukan ini, tapi aku kalut.” Jawabnya sambil terisak.
Mendengar
itu aku sadar, betapa pahitnya fitnah yang ditudukan seseorang atas orang lain.
Aku menyadari kesalahanku selama ini. Ketidakpekaanku membuat hidupku asik
dengan diri sendiri. Aku menyadari.
“Maafkan
aku juga, Ratna.” Jawabku penuh penyesalan. Aku sadar kini, bahwa fitnah memang
lebih kejam dari pembunuhan. Aku berjanji akan menjaga semua perkataanku dan tak
akan melakukannya lagi. “Aku sangat menyesal. Aku mohon maafkan aku.” Kataku
memohon.
“Maafkan
aku jjuga yang sudah meminta teman-teman menjatuhkanmu. Kamu benar tidak
kenapa-kenapa, ‘kan?”
“Ya,
aku baik-baik saja. Tapi kau harus menyembuhkan lukaku ini! Sakit tau!” Kataku
sambil menunjuk kepalaku.
Ratna
hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Tenang saja, paling besok kamu sudah
lupa bahwa hari ini kamu jatuh.” Ucapnya cuek.
“Dasar!
Kamu teman yang cukup tidak bertanggungjawab.”
“Baiklah,
aku akan merawatmu, Res.” Katanya sambil tersenyum.
Inilah
yang aku butuhkan. Persahabatan.
LDK
OSIS berakhir dengan kebahagiaanku yang telah dimaafkan Ratna. Aku tidak akan
menyalahkan Ratna, karena ternyata semua adalah
salahku. Mungkin jika tidak ada LDK aku tidak akan mengetahui apa yang
dipendam Ratna selama ini. Terima kasih MAN Insan Cendekia.
***
Hari Minggu sore kami kembali ke MAN
Insan Cendekia. Dengan perasaan haru dan lega atas LDK yang menyatukan
kekompakan angkatan. Terutama, aku dan Ratna.
Ngomong-ngomong, apa kabarnya Angga,
ya? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin juga kalau aku
tidak bertemu Angga, aku tidak akan pernah mengetahui ini semua.
“Terima kasih, Angga!” gumamku.
***
Dari tempat yang tidak terlalu jauh
dari tempat di mana Ares berada, Angga tengah berdiri memandanginya. Ia
mendengar apa yang dikatakan Ares.
“Sama-sama, Ares.” Gumamnya.
Sebenarnya aku tidak koma, Res.
Aku juga bukan warga desa sekitar Gunung Pancar. Aku pengagummu di sini. Aku
juga dari MAN Insan Cendekia ini. Aku ada sebelum kau datang ke tempat ini. Aku
tahu masalahmu dengan Ratna sejak lama. Aku pilih mengikutimu ke tempat LDK
karena aku tahu rencana Ratna. Maafkan aku tidak bisa melindungimu.
Beruntunglah aku diberikan waktu bertemu denganmu, beruntung pula ternyata kamu
bisa melihatku. Aku Angga. Almarhum teman kakakmu yang dulu pernah kukagumi juga.
Kalian berdua sama.
“Aku pergi sekarang, Ares.”