Senin, 22 September 2014

TUGAS CERPEN KELAS XII



SAMPAI DI SINI
Karya : Melati Nur Fajriani-3500007

dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan (Al-Baqarah : 191)

Melihat tempat ini sama seperti melihat penjara. Bayangan saat aku terkurung dan tak bebas untuk berkelana. Merasa hina dengan jutaan  pengalaman kawan yang luar biasa. Ini bukan yang pertama tapi bagaikan berawal kembali dari titik semula. Merasa menanggung semua beban yang ada seorang diri saja. Sakit hati melihat semua tawa canda yang ada. Sulit berbaur, sulit menerima. Tempat ini mengucilkanku dari dunia seperti ulat kecil di tengah hutan belantara. Ulat yang hanya bisa makan dan merusak dedaunan yang indah demi berubah menjadi sesuatu yang cerah. Ya, inilah MAN Insan Cendekia. Tempat di mana kakak perempuanku pernah bersekolah, dan aku penerusnya.
Resmania Arini. Panggil saja aku Ares, seperti biasa. Akrab saja. Kini aku tengah menjalani studi di kelas XI MAN Insan Cendekia. Sekolah berasrama yang dibangun sejak 75 tahun yang lalu, di mana aku akan tinggal selama tiga tahun di sini. Beruntung aku sudah memasuki tahun kedua. Senangnya.
            Kesan yang setiap orang rasakan ketika tinggal di sini berbeda-beda. Aku sendiri menganggapnya angker karena gedung-gedung asrama ditutupi pohon seperti hutan belantara. Tapi apa mau dikata, di sinilah aku, di tempatku menuntut ilmu.
            Aku masih 15 tahun saat masuk ke sekolah ini, termuda. Teman-temanku memiliki usia yang jauh di atasku. Yang paling dekat saja bedanya mencapai 2 tahun. Ya, aku memang terlalu cepat masuk sekolah dasar waktu dahulu. Lima tahun usiaku saat itu, dan teman-temanku yang lain kebanyakan berusia tujuh tahun ke atas…
            Perjalanan setahun kebelakang cukup berkesan dalam benakku. Semua hari yang kujalani bersama angkatan yang berisik. Trouble pula katanya. Ah, tak peduli apapun yang dikata orang. Aku bahagia ada bersama mereka.
            Ini hari Jumat, hari yang aku tunggu karena sudah menjelang hari Sabtu dan Minggu. Kenapa? Karena aku bisa menghubungi orang tuaku yang ada di Bandung. Maklum, aku hanya bisa berjumpa dengan mereka via suara. Tapi, Jumat ini berbeda, hari Sabtu yang kutunggu berbeda dengan jadwal yang biasanya. Sabtu dan Minggu ini akan diadakan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS. Di luar sekolah. Jadi, otomatis aku tak bisa menghubungi keluargaku. Baiklah, akan aku coba saja menuruti jadwal sebagaimana adanya.
***
            Malam berlalu tanpa aku bisa mengabari keluargaku bahwa aku akan mengikuti LDK OSIS bersama angkatanku nanti. Aku takut ibu khawatir menunggu telepon dariku yang tak kunjung datang. Tapi biarlah, minggu ini saja.
            “Ares, tidur yuk! Sudah malam. Besok kan kita berangkat pagi-pagi sekali. Jangan sampai kamu sakit karena kurang tidur nanti.” Tiba-tiba suara Ina, teman kamarku, membuyarkan lamunan kerinduanku.
            “Ya, In, sebentar lagi aku tidur. Duluan saja!” jawabku asal.
            “Awas, kamu, begadang!” katanya mencoba mengancam.
            Kuabaikan kata-kata Ina itu. Ah, aku rindu Ayah Ibu.

***
“Inaaaaaaaa! Ayo bangun!!!!!!! Sudah subuh!!!!!!!!!!!! Nanti telat berangkat bagaimana?!” teriakku di pagi buta membangunkan Ina.
Ah iya, aku harus membangunkan Ratna, dia kan teman sekelompokku. Pikirku teringat tiba-tiba.
Sebenarnya sekarang masih jam setengah empat, tapi Ina memang susah untuk bangun dari mimpi-mipminya yang ia bilang selalu indah, maka dari itu aku membangunkannya jauh-jauh dari waktu subuh.
“Ih!!!! Apaan sih!!!!! Aku masih ngantuk tau! Lagipula ini baru jam stengah empat, Ares, kamu jangan bohong!” sergah Ina yang merasa teganggu.
“Ya, bangunlah, Na! LDK loh, masa kamu jam segini masih tidur? Telat baru tahu rasa kamu.”
“Aku tidak akan telat, aku kan bisa mandi kilat.”
            “Bukan masalah mandinya, tapi antrenya. Kinan dan Ririn kan mau mandi juga.”
            “Ya sudahlah, yang telat kan aku, kamu tidak usah repot-repot memikirkan aku seperti itu.”
            Aku menyerah membangunkannya, “Ya sudah, aku mau membangunkan Ratna dulu.” Sambil menyiapkan barang dan  siap-siap pergi ke masjid untuk shalat subuh berjamaah. Barang-barang yang kubawa hanya sedikit. Hanya berisi baju, jaket, dan keperluan lain yang ringan.
            Aku melihat tiga truk tentara sudah berjejer di lapangan parkir. Sudah siap menyeret kami ke hutan tempat LDK nanti.
            Shalat subuh berjalan sebagaimana biasanya. Teman-teman angkatanku juga sudah berkumpul semua, termasuk Ina yang akhirnya bisa melepaskan mimpi-mimpi indahnya.
            Pembagian kelompok sudah diketahui hasilnya, setelah persiapan yangdilakukan kemarin. Salah satu teman dekatku, Ratna, sekelompok denganku. Aku cukup senang.

***
            Kami sampai setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam. Lokasi LDK tahun ini terletak di Kabupaten Bogor, di Gunung Pancar, di kaki Gunung Salak. Setelah tiga puluh menit beristirahat, untuk sejenak menghirup udara sejuk, kami mendirikan tenda.
            Hari pertama diisi dengan outbond, perkelompok. Aku yang baru kali pertama akan mencoba, merasa tertarik dan bersemangat.
            Berbagai permainan aku coba dengan perasaan yang gembira bersama teman-teman sekelompokku sampai akhirnya aku jatuh di satu permainan. Trustfall namanya.
            Seketika sekitarku gelap, pekat. Aku limbung dan tak tahu lagi apa yang terjadi.

***
            Aku bangun dari berbaring. Hei, badanku terasa sangat ringan. Baru kali ini aku merasa seperti….melayang.
            “Kamu sudah bangun?” Tanya seseorang yang entah dimana.
            Aku yang bingung hanya celingukan mencari sumber suara.
            “Cobalah berjalan keluar, aku di luar.” Lanjutnya.
            Merasa penasaran, aku mengikuti kata-katanya. Namun, aku terkejut ketika aku melihat tubuhku melesat dengan cepat. Ada apa ini?
            “Selamat datang di dunia maya! Aku Angga.” Sambutnya.
            “Dunia maya? Facebook? Twitter? E-mail? Aku masuk ke dunia maya? Bagaimana mungkin? Apa semua orang bisa masuk ke dunia maya ini? Lantas, mana teman-teman facebook-ku? Followers twitterku? Mana? Mana?” tanyaku bertubi-tubi.
            “Sssssstttttt….. Bisa gak sih kamu nanyanya satu per satu? Aku bingung harus jawab yang mana.” Katanya marah.”Ini bukan facebook atau semacamnya. Ini dunia lain.” Jelasnya.
            “Dunia lain?” tanyaku bingung.
            “Ya, kamu pingsan. Tengoklah ke dalam. Tubuh kamu sedang berbaring. Tadi kamu jatuh, bukan?” tanyanya.
            Kutengokkan kepalaku ke dalam tenda dan sungguh terkejut melihat tubuhku yang terbujur lemas dengan sedikit luka lebam di kepala. Aku terpaku. Bagaimana mungkin dunia semacam ini benar-benar ada? Aku pikir hanya cerita novel-novel belaka. Tapi kini aku merasakannya.
            “Angga, apa aku akan mati?” tanyaku ragu. Aku tak ingin mendengar jawaban yang tak kuinginkan.
            “Sudah pasti.” Jawaban itu mengejutkanku. “Semua yang bernyawa di dunia ini pasti akan mati. Begitu juga kamu. Tapi aku tidak tahu kapan kamu akan mati. Kelihatannya kamu baik-baik saja. hanya sedikit lebam di kepala.” Kini jawaban itu sedikit membuatku tenang.
            “Aku takut. Kamu sendiri siapa? Sedang apa di sini?” tanyaku lagi.
            “Ih, kamu ini tuli, ya? Aku kan sudah bilang, namaku Angga. Soal sedang apa aku di sini, itu semua urusanku. Bukan urusanmu.” Jawabnya ketus.
            “Hei, aku bertanya baik-baik. Bisa tidak kau sedikit santai? Aku tidak tuli. Maksudku, apa kau malaikat pencabut nyawa?” pertanyaan bodoh.
            “Bodoh! Tentu saja bukan. Aku warga desa sekitar sini. Aku juga sama sepertimu. Tapi bukan pingsan, aku koma sejak tiga minggu yang lalu, dirawat di rumah.” Jawabnya menjelaskan, walaupun dengan nada ketusnya yang hanya sedikit saja berubah. “Ikut aku!” pintanya tiba-tiba.
            “Mau kemana? Tubuhku bagaimana?”
            “Sudahlah, tubuhmu akan baik-baik saja.”
            “Kau belum menjawab kita akan kemana.”
            “Baiklah, kita akan berkeliling ke tenda-tenda teman-temanmu.”
            “Untuk apa?”
            “Kamu terlalu banyak bertanya. Ikut saja! Mungkin aku bisa memilih beberapa temanmu yang cantik dan menarik.” Katanya sambil tersenyum licik.
            Memilih aman, aku mengikutinya saja. walaupun aku belum mengenalnya tapi apa salahnya.
            “Sini, dengarkan ini! Mungkin ada hubungannya denganmu.” pintanya
            “Ada apa sih?”
            “Dengarkan saja!”
            Aku mengikuti perintahnya. Aku berdiri di samping tenda Ina, karena kebetulan ia berbeda kelompok denganku. Sayup-sayup aku mendengar suara Ina. Aku belum bisa mendengar apa yang dikatakannya dengan jelas. Aku memutuskan untuk memasuki tenda.
            “Kasian, ya, Ares. Kenapa dia sampai bisa jatuh seperti itu?” Tanya Ina pada Kinan.
            “Mungkin Ares ragu ketika dia menjatuhkan diri. makanya teman-temannya ragu untuk sanggup menangkapnya atau tidak. Lagipula, Ares kan kurus, mna mungkin dia tidak tertahankan berat badannya?” jawab Kinan mengira-ngira.
            “Bisa jadi begitu.” Jawab Ina manggut-manggut.
            Tapi, ada yang aneh, Desi tidak berkomentar apa-apa. Padahal Desi anggota kelompokku. Padahal, mungkin saja, bukan, dia mengetahui alasannya.
            “Bagaimana, Des, menurut kamu?” tanya Ina pada Desi.
            “Emm..emm..” Desi hanya bergumam. Seperti sedang mencari alasan.
            “Des, menurutmu bagaimana? Jawablah!” Tanya Ina lagi.
            Desi tetap bungkam.
            “kamu kenapa, Des?” Tanya Kinan heran, “Kok wajahmu pucat? Kamu sakit?” lanjutnya.
            “Oh, tidak. Aku tidak sakit. Tapi.. sebenarnya.. Aku tahu kenapa Ares bisa sampai jatuh seperti tadi.” Jawab Desi.
            Mendengar jawaban Desi, aku terkejut setengah mati. Sebenarnya, inilah yang ingin aku cari tahu. Kenapa aku sampai jatuh.
            “Aku tahu, sebenarnya ini sebuah kesengajaan.” Jawab Desi.
            Seketika jantungku merasa terhunus. Kesengajaan apa yang dimaksud Desi? Ada apa ini sebenarnya?
            “Sebenarnya, Ratna yang melakukan ini semua.” Lanjut Desi.
Mana mungkin apa yang dikatakan Desi itu? Apa benar Ratna yang memintanya untuk tidak menangkapku? Apa salahku?
            “RATNA??????” Tanya Kinan dan Ina serentak.
“Ya.”
“Ada apa dengan Ratna?”
“Tolong jangan beri tahu Ratna bahwa aku memberitahu kalian ya.” Pinta Desi memohon. “Aku takut Ratna semakin membenci Ares nanti.”
“Kami janji, Des.” Kinan dan Ina menjawab serentak.
“Ratna sempat sakit hati saat masih kelas satu. Dia bilang bahwa Ares pernah menyalahkannya atas suatu kejadian yang Ratna sendiri tidak tahu apa masalahnya.”
“Lantas, kenapa Ratna tega melakukan ini? Ini mengancam nyawa Ares. Bagaimana kalau dia geger otak?”
“Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku bingung.”
Mendengar jawaban Desi itu aku mengingat-ingat kejadian apa yang dimaksudkannya. Beberapa menit kubiarkan saja Angga di luar. Aku lupa menemukan jawabannya. Tapi tiba-tiba, aku merasa ditarik . kulihat sekeliling tidak ada orang lain.
“Anggaaaaaaa!!!!!!!! Tolong a….” leherku terasa tercekat.
“Ares? Kamu kenapa?”

***
Aku membuka mata. Pusing. Aku ingat kejadian tadi. Apakah itu semua mimpi? Tapi, terasa sangat nyata.
“Tidak, bukan mimpi. Aku Angga”
Aku cari asal suaranya, tapi aku tidak bisa melihatnya.
“Kamu tidak akan bisa melihatku lagi. Kamu sudah bangun. Cepatlah kau temui Ratna. Aku mendengar percakapan tadi. Minta maaflah padanya. Aku mau kembali ke rumah. Aku lelah mendengar cerita tentangmu itu. Selesaikanlah masalahmu dengannya. Selamat tinggal” ucap Angga.
“Angga? Kamu sudah pergi?”
Tidak ada jawaban.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Angga dan segera berlari menuju tendaku. Kulihat Ratna di sana yang kaget melihatku berlari menghampirinya.
“Loh, Ares, kamu sudah bangun?” Tanyanya perhatian. “Bagaimana keadaan kamu? Sudah baikkan?” katanya lagi sambil memasang wajah yang sangat perhatian.
“Apa salahku sampai kamu membuatku seperti ini?!” tanyaku sedikit membentak.
Mendengar ucapanku itu, wajah Ratna memucat. Beberapa detik kemudian berubah merah. “Kau pernah menuduhku mencuri uangmu. Padahal aku sama sekali tidak tahu. Maafkan aku. Harusnya aku memang tidak melakukan  ini, tapi aku kalut.” Jawabnya sambil terisak.
Mendengar itu aku sadar, betapa pahitnya fitnah yang ditudukan seseorang atas orang lain. Aku menyadari kesalahanku selama ini. Ketidakpekaanku membuat hidupku asik dengan diri sendiri. Aku menyadari.
“Maafkan aku juga, Ratna.” Jawabku penuh penyesalan. Aku sadar kini, bahwa fitnah memang lebih kejam dari pembunuhan. Aku  berjanji akan menjaga semua perkataanku dan tak akan melakukannya lagi. “Aku sangat menyesal. Aku mohon maafkan aku.” Kataku memohon.
“Maafkan aku jjuga yang sudah meminta teman-teman menjatuhkanmu. Kamu benar tidak kenapa-kenapa, ‘kan?”
“Ya, aku baik-baik saja. Tapi kau harus menyembuhkan lukaku ini! Sakit tau!” Kataku sambil menunjuk kepalaku.
Ratna hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Tenang saja, paling besok kamu sudah lupa bahwa hari ini kamu jatuh.” Ucapnya cuek.
“Dasar! Kamu teman yang cukup tidak bertanggungjawab.”
“Baiklah, aku akan merawatmu, Res.” Katanya sambil tersenyum.
Inilah yang aku butuhkan. Persahabatan.
LDK OSIS berakhir dengan kebahagiaanku yang telah dimaafkan Ratna. Aku tidak akan menyalahkan Ratna, karena ternyata semua adalah  salahku. Mungkin jika tidak ada LDK aku tidak akan mengetahui apa yang dipendam Ratna selama ini. Terima kasih MAN Insan Cendekia.

***
            Hari Minggu sore kami kembali ke MAN Insan Cendekia. Dengan perasaan haru dan lega atas LDK yang menyatukan kekompakan angkatan. Terutama, aku dan Ratna.
            Ngomong-ngomong, apa kabarnya Angga, ya? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin juga kalau aku tidak bertemu Angga, aku tidak akan pernah mengetahui ini semua.
            “Terima kasih, Angga!” gumamku.

***

            Dari tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat di mana Ares berada, Angga tengah berdiri memandanginya. Ia mendengar apa yang dikatakan Ares.
            “Sama-sama, Ares.” Gumamnya.
Sebenarnya aku tidak koma, Res. Aku juga bukan warga desa sekitar Gunung Pancar. Aku pengagummu di sini. Aku juga dari MAN Insan Cendekia ini. Aku ada sebelum kau datang ke tempat ini. Aku tahu masalahmu dengan Ratna sejak lama. Aku pilih mengikutimu ke tempat LDK karena aku tahu rencana Ratna. Maafkan aku tidak bisa melindungimu. Beruntunglah aku diberikan waktu bertemu denganmu, beruntung pula ternyata kamu bisa melihatku. Aku Angga. Almarhum teman kakakmu yang dulu pernah kukagumi juga. Kalian berdua sama.
“Aku pergi sekarang, Ares.”

Pemenuhan tugas sejarah



Teks Pidato Presiden Soekarno

Saudara-saudara sekalian!
Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa maha-penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun!
Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya.
Di dalam jaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malah telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta


Seperti itulah lengkapnya pidato Bung Karno di hari merdeka RI. Ini merupakan kali pertama saya mengetahui bahwa pernyataan proklamasi tidak hanya berisi pernyataan kemerdekaan melainkan juga beberapa hal yang tertera di atas.
Berbicara tentang pidato Bung Karno, saya rasa bukan rahasia lagi jika proklamator kita yang satu ini memang ahlinya. Kebanyakan pidatonya menguras emosi rakyat. Dari haru hingga bara semangat. Bahasa yang berani menambah kesan angkuh yang memunculkan anggapan bahwa begitulah adanya Soekarno kita, gagah, berani mati demi negeri, dan hal yang lain-lain.
“Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
kalimat ini, misalnya.. seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi dilaksanakan, banyak terjadi konflik di antara golongan tua dan golongan muda. Dari mulai waktu pelaksanaannya dan mungkin masalah-masalah lain yang diperdebatkan. Belum tentu semua orang pada waktu itu mengetahui benar konflik-konflik yang terjadi, kecuali yang bersangkutan. Mendengar perkataan seperti di atas merupakan kebanggaan tersendiri yang pasti membuat semangat juangbangsa semakin tinggi saat itu.
            Pada pidato proklamasi, khususnya, perasaan rakyat yang mengidamkan kemerdekaan juga menjadi faktor mudahnya rakyat dihasut.
                Tapi, dengan adanya pidato-pidato yang membara dari Bung Karno, rakyat bisa turut maju dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang mengalami kondisi kritis beberapa tahun pertama. Berkat pidatonya pula Indonesia bisa melepaskan diri dari jajahan asing. Terima kasih, Soekarno.