Aku melangkah mengelilingi teras
toko itu. Lagi dan lagi. Bukan bosan. Aku sedang berpikir. Apakah aku harus
melakukannya atau membatalkannya saja. aku berjalan menjauhi toko itu.
Menghampiri gedung di sampingnya. Lagi-lagi aku hanya berpindah dari satu tempat
ke tempat lain tanpa tujuan yang berarti.
Kini,
benda berbentuk balok pipih yang sedari tadi mengganggu pikiranku sudah berada
di genggamanku. Lagi-lagi aku memutar langkah. Di mana pula temanku yang satu
itu. Aku ingin menitipkan benda ini untuk diberikan pada seseorang.
Aku
masih berdiri, di tempat yang berbeda dari tempat semula. Aku kembali ke
asrama. Aku melamun. Apa aku yakin akan melakukannya? Hanya itu pertanyaan yang
tersirat di benakku. Banyak orang bertanya apa yang kulakukan tapi aku tidak
bergeming. Aku ragu.
Kini
aku kembali lagi ke gedung itu. Gedung yang di dalamnya sedang ada pelaksanaan
wisuda. Gedung yang sakral bagi pendatang baru dan yang akan pergi. Itu dia, temanku. Yang akan kutitipkan
benda ini untuk diberikan pada seseeorang yang kumaksud. Dan dengan cepat,
benda itu sudah berpindah tangan. Dalam perjalanan.
Perasaanku
bercampur aduk. Aku menunggu acara di dalam gedung itu selesai dengan hal yang
sama. Melangkah mengitari teras gedung itu sambil sesekali menyambut tamu yang
baru datang.
Acara
selesai. Gawat! Eh-maksudku…entahlah. Aku menghindari pintu keluar. Menunggu di
depan pintu masuk agar tak bertemu dengan seseorang yang kumaksud. Aku berdiri
dengan gelisah.
“Hei!
Dia menolaknya.” Temanku bilang. Deg! Aku panik. “Dia meminta kau memberikannya
langsung.” Aku lunglai.
Ah.
Sial. Benda itu kini ada di tanganku lagi.
Aku
memperhatikan orang itu. Menunggu saat dia akan melihatku. Gelisah. Apa yang
harus kukatakan nanti? Ah, sudahlah. Yang penting benda ini sampai di tangannya.
Sekitar satu jam aku menunggu. Akhirnya, orang itu menghampiriku juga.
“Hei!
Ada apa ini?” Tanya orang itu.
“Ini,
untuk kau.” Aku menyodorkan benda itu. Dia tidak mengindahkannya.
“Dalam
rangka apa?” tanyanya lagi. Hei! Kenapa orang ini sangat menyebalkan.
Aku
gelagapan. “Aku hanya ingin memberikannya pada kau. Apa salah?” tanyaku
seadanya.
“Tidak
bisa seperti itu. Bagaimana bisa ada benda itu di mejaku………….blablabla” dia
menjelaskan yang bagiku terdengar seperti gerutuan.
Aku
hanya diam. Tidak bisa menjelaskan apa yang sangat ingin kukatakan saat itu
juga. Sebelum dia pergi. Tapi, kelu. Aku tetap tidak bisa mengatakan hal yang
selama ini kurasakan.
“Ya
sudah. Ini, untuk kau.” Lagi aku mencoba mengulurkan benda itu.
Senyumnya
belum hilang sedari tadi. Oh, ini memang hari yang indah untuknya. “Haruskah
kuterima?” pertanyaan yang menurutku--bahkan mungkin menurutnya--pertanyaan
yang retoris. Dia pun mengatakannya sambil mengulurkan tangan tanda menerima.
Kini
benda itu benar-benar sudah berpindah tangan. Ya, di tangan orang itu. Yang
membuatku gemas akan kelakuannya. Kuakui dia memang baik. Aku sangat berterima
kasih karena dia mau menerima benda itu. Setelah kejadian itu, dia pergi. Bukan
meninggalkanku, karena memang dia tidak pernah datang untukku. Ya, dia sudah
lulus SMA. Aku tersenyum walaupun menangis.
***
Beberapa bulan kemudian aku baru
tahu, benda yang kuberikan itu adalah kesukaannya.
“’Benda’ yang kau berikan itu
kesukaanku. Benar sekali, kau.” Katanya suatu waktu.
“Memangnya apa?” aku sedikit
lupa.
“Itu, Silverqueen Almond.”
Diam-diam aku tersenyum.