KALAU SAJA
(oleh
: Melati Nur Fajriani & Tamara Chrysanthy)
Aku,
Vin dan Rin sejak SMP sudah berteman dekat. Oh ya, aku lupa, namaku Bel. Dekat,
sangat dekat. Tapi aku merasa lebih dekat dengan Vin daripada Rin. Aku dan Vin
lebih sering bersama, karena aku dan Vin sekelas dari kelas 2 SMP. Di SMA,
lagi-lagi aku sekelas dengan Vin. Sedangkan Rin, dia selalu terpisah dengan
kami. Kami hanya pernah sekelas di kelas satu SMP. Itulah penyebab aku lebih
dekat dengan Vin. Kendati seperti itu, tetap tak sedikit kegiatan yang kami
lakukan bertiga.
Bosan
sekelas dengan Vin dari SMP, nyatanya, di kelas 3 SMA akhirnya aku terpisah
dari Vin. Dan Rin, dia tetap tidak sekelas denganku ataupun Vin. Tak masalah,
kami tetap berangkat dan pulang bersama, rumah kami searah. Hang out bertiga dan selalu menghabiskan
waktu istirahat bersama.
Tapi,
pisah kelas dengan Vin membuatku tidak nyaman. Ada yang hilang, kurasa.
Bagaimana dengan Rin selama ini? Aku jadi lebih sering merindukan Vin. Haha,
itu hal aneh. Ah, mungkin karena aku tidak biasa saja jauh dari Vin.
Tapi,
tidak. Ternyata lebih dari itu. Aku mulai merasakan hal yang lain. Akhir-akhir
ini aku mendengar Vin sedang dekat dengan salah satu teman kelasnya. Aku tidak
suka itu terjadi. Aku jadi sangat emosional—saat ini sering disebut ‘membawa
perasaan—ketika berbincang dengan Vin tentang seseorang yang disukai.
“Hei,
Bel. Adakah seseorang yang kau sukai?” Tanya Vin ketika kami sedang duduk di
beranda kamarku. Tanpa Rin. Rin sedang sibuk mengurus klub karatenya.
Aku
tertegun mendengarnya. “Tidak. Tidak untuk saat ini.” Aku sedikit berbohong.
“Kenapa? Apa kau sedang jatuh cinta, Vin?” aku mencoba mengalirkan pembicaraan.
Ia
menoleh padaku. Hanya tersenyum. Hei! Itu bukan jawaban. Hening sejenak.
“Mungkin.”
Ia buka suara.
Deg!
Aku cukup terkejut mendengarnya. Ada apa ini. Aku jadi rikuh.
“Mungkin
ya.” Katanya lagi.
Aku
mencoba tetap santai. “Siapa?” tanyaku. Haha, bodoh. Semoga aku sanggup
mendengar jawabannya.
“Aku
belum bisa menjawabnya sekarang, Bel. Aku sendiri belum yakin. Aku merasa aneh
akhir-akhir ini jika ada orang itu. Aku jadi salah tingkah.”
“Kalau
begitu, yakinkanlah!” kataku asal. “Sebentar lagi kita lulus, kuharap kau tidak
menyesal karena telat menyadarinya, Vin.” Aku memaksakan tersenyum.
Vin
menoleh sebentar padaku. Menatapku. Membuatku canggung, lantas berpaling lagi.
Ia menatap langit senja yang mulai gelap keunguan. Dari ekor mataku, kulihat
Vin tersenyum. Rasanya saat ini aku sangat ingin menyelami pikirannya.
***
Ujian
Nasional sudah berlalu. Dan….aku, Vin juga Rin menghabiskan waktu liburan yang
diberikan dengan cara berkemah di salah satu tempat kemah daerah Bogor. Hanya
kami bertiga. Aku sangat suka hal ini.
Kami
menyewa dua tenda. Satu untukku dan Rin. Satu lagi tentu saja untuk Vin.
“Hei!
Kalian enak sekali. Tidur berdua. Hangat. Bagaimana denganku?” tanyanya
menggoda. Pura-pura memberengut, merajuk.
“Kau
punya tas yang cukup besar untuk kau peluk dan menghangatkanmu, kawan.” Rin
menyahut.
“Apa
maksudmu?” Vin merengut kemudian tersenyum jahil. “Aku mau kau, bukan tasku.”
Kata Vin sambil mendirikan tendanya sendiri. Rin sendiri hanya tertawa
mendengarnya. Aku ikut tersenyum kecil. Teman-temanku ini ada-ada saja.
Tenda
sudah siap. Tenda Vin berdiri—dengan agak aneh—beberapa meter dari tendaku dan
Rin. Aku dan Rin menertawakan Vin yang—sungguh—tidak sama sekali memiliki
keahlian mendirikan tenda.
“Ini
karena aku membuatnya sendiri. Kalian berdua.”
“Banyak
alasan, kau, Vin. Akui saja kenapa sih?”
Rin ikut menghakimi. “Kau ‘kan memang payah dalam urusan begini.”
“Baiklah.
Kalian selalu menang dalam hal menghakimiku. Curang. Mana boleh selalu seperti
ini. Dua lawan satu.” Vin menggerutu.
“Sudahlah. Ayo
kita mengambil air dan mencari kayu bakar.” Aku menghentikan candaan.
“Aku yang
mengambil air!!” Vin dan Rin berteriak bersamaan. Lalu saling menoleh.
Rin tidak
terima. “Aku yang mengatakannya lebih dulu!”
“Aku!” Vin
tidak mau mengalah.
“Aku!!!”
“HHHHHEEEIIII!!!!!!!”
aku tidak kalah ikut teriak. “Sudah. Kalian ambil air berdua. Biar aku yang
mencari kayu bakar. Berisik.” Aku menggerutu. Vin dan Rin terkekeh melihatku.
Sial!
***
Pukul sebelas
malam. Api unggun yang kami buat sudah padam sekitar satu jam yang lalu. Yang
tersisa tinggal sedikit bara kayu, abu, dan asap tipis yang lebih dulu disergap
angin sebelum terbang tinggi.
Aku keluar
dari tenda. Rin sudah pulas, sedangkan aku memejamkan mata pun tidak bisa. Aku
lirik tenda Vin—yang terlihat rapuh—lampunya menyala. “Vin, apa kau belum
tidur?” aku mencoba mencari kehidupan. Tapi tidak ada jawaban.
Aku mendengar
suara risleting. Dari dalamnya, muncul kepala Vin. “Belum. Aku tidak bisa
tidur. Apa kau juga?”
Aku menoleh.
Tersenyum karena ada teman berbincang. “Ya. Aku tidak bisa. Entah kenapa, tapi,
aku tidak mengantuk.” Kataku. Udara malam di tempat ini cukup dingin. Aku
mengusap lenganku untuk mencari kehangatan.
“Ini. Pakai
ini.” Dia memakaikan jaketnya ke tubuhku. Sekarang tinggal kaus pendek yang
bertandang di tubuhnya.
“Tidak usah.
Apa kau tidak merasakan betapa dinginnya malam ini?” tanyaku sambil
mengembalikan jaketnya.
Vin hanya
tersenyum. “Pakailah. Aku berani bersumpah aku sangat kegerahan di dalam sana.”
Dia menunjuk tendanya.
“Baiklah,
terima kasih.”
“Hei, kenapa
kau jadi canggung seperti itu?!” tanyanya.
“HEI! Enak
saja!”
“Heiii..
tenanglah. Pipimu jangan merah seperti itu.”
Aku malu.
Sungguh. Aku diam. Menunduk. Apa benar?
Pikirku.
“Hei, Bel. Aku
hanya bercanda!” Vin menenangkan.
Fiuhh.
“Bel.” Vin
memanggil. Aku menoleh ke arahnya. “Tentang orang yang aku suka.”
“Kenapa?”
“Aku sudah
meyakinkan diriku. Aku suka dia, sejak awal aku mengenalnya.” Vin tersenyum.
Menerawang.
Aku sedikit
risih mendengarnya. Atau bahkan, aku tidak suka mendengar Vin bercerita tentang
ini semua. Tapi kupaksakan mendengarnya. Bersikap sewajarnya. “Apa kau mau
menyebutkan namanya, Vin?” huuh.. susah payah aku mengatakannya. Aku harus
siap-siap mendengar apa yang akan diucapkan Vin.
“Kau kenal
Rin, ‘kan?” tanyanya.
Aku
mengernyitkan dahiku. Maksudnya apa? Tentu saja aku kenal. Dia teman kami.
“Tentu saja.” aku menjawab.
“Ya. Dia. Rin
lah orang itu, Bel.”
Deg! Aku tertegun.
Perasaan apa ini? Sungguh, apakah.. aku cemburu? Tidak.. harusnya tidak seperti
ini.
“Bisakah aku
memercayakan cerita ini padamu? Aku ingin kau menyimpannya. Jangan kau katakan
pada Rin, ya.” Vin menjelaskan. Senyum di wajahnya masih merekah. “Biar aku.
Biar aku saja yang mengatakannya suatu waktu.” Lanjutnya.
“Oh. Ya. Aku
akan menyimpannya baik-baik.” Aku masih tidak percaya. Aku ingin kembali ke
dalam tenda saja. “Ah, Vin. Sudah malam. Bagaimanapun kita harus tetap tidur.
Besok kita akan berkeliling ke hutan, ‘kan?” aku mengalihkan pembicaraan.
“oh, iya.
Sudah hampir jam dua belas. Silakan. Sampai bertemu lagi, Bel.” Vin tersenyum.
Sedangkan aku hanya mengangguk kecil.
***
Setelah
kejadian malam itu, aku terus mencoba bersikap wajar pada Vin dan Rin. Apa aku
jadi orang ketiga di antara mereka? Apa Rin merasakan hal yang sama terhadap
Vin? Hanya itu hal yang akhir-akhir ini ada di benakku.
Seminggu lagi
perpisahan SMA. Vin akan kuliah ke luar kota. Rin kuliah di salah satu
universitas swasta. Aku sendiri berniat mencari universitas terdekat. Sementara
minggu ini, kegiatan hanya diisi dengan persiapan wisuda. Sesekali diselingi
pertemuan dengan kepala sekolah.
Ya.. enam hari
lagi…
***
Wisuda sudah
selesai. Prestasi teman-temanku ternyata sangat bertebaran. Aku hanya
menyumbang dua. Rin meyumbang lima. Vin.. dia belum menyumbang pada kesempatan
ini.
“Kita harus
mengabadikan momen ini. Kapan lagi kita melihat Rin memakai make-up seperti ini, Vin?” aku berseru
riang.
Vin berlari
kecil ke arahku. Senyumnya merekah mendengar ucapanku. Setelah Vin datang, kami
berlari ke arah Rin.
“Bolehkah aku
berdua dulu foto dengan Rin?” Tanya Vin.
Aku merengut.
Berusaha terlihat berpura-pura walau nyatanya aku tak suka. “Ya sudah.” Kataku
akhirnya. Vin di sana hanya mengerling ke arahku.
Satu foto. Dua
foto. Tiga… aku bosan.
“Hei, apa kau
benar-benar tidak ingin berfoto denganku, Vin?”
“Oh, maaf, aku
terlalu asyik.”
Wajah Rin kini
sudah terlipat. Dia terlihat kesal karena banyak yang memintanya berfoto
berdua. “Apa-apaan ini?!!! Lihat!! Aku lelahhh….” Yaaaaa.. itu keluhan Rin yang
sudah kudengar sejak setengah jam yang lalu.
Aku dan Vin
terbahak mendengarnya. Terlebih lagi, wajah Rin sangat pilu.
Setelah puas
berfoto, kami mengobrol sekadar membuang waktu sebelum berpisah. “Emm, aku
ingin ke belakang. Kutinggal sebentar, ya.” Aku beranjak meninggalkan Vin dan
Rin.
Tak lama
setelah dari toilet, aku kembali. Aku melihat Vin dan Rin sepertinya sedang
terlibat dalam pembicaraan cukup serius. Aku tidak ingin mengganggu. Bukan,
lebih tepatnya aku tidak ingin sakit hati karena mengetahui isi pembicaraan
itu. Aku pergi berbincang dengan kawan lain. Cukup lama sampai akhirnya Vin
memanggilku.
Vin berjalan
ke arahku diikuti Rin. Muka keduanya merah. Eh.. sepertinya dugaanku benar.
***
Hari ini Vin
akan berangkat. Aku mengantarnya. Tanpa Rin, dia jatuh sakit. Untuk pertama
kali aku menangis karena Vin. Dia mendekapku. Menyembunyikanku dari tatapan
orang-orang yang berlalu-lalang.
“Hei, Bel, kau
kenapa? Tidak seperti ini Bel yang kukenal.” Dia tertawa. “Jangan membuatku
merasa bersalah meninggalkanmu.”
“Bodoh! Mana
mungkin aku melepasmu begitu saja, Vin? Kau berhutang banyak padaku.”
“Hahaha, akan
kubayar semua ketika aku kembali, Bel.” Dia melepasku dari pelukannya. “Sudah,
jangan menagis lagi.” Vin merogoh tasnya. Ada dua kotak yang terbungkus kertas
coklat polos. Ada namaku di salah satu kotak itu, dan nama Rin di kotak
lainnya. “Ini, untukmu. Yang satu ini, aku titip padamu. Aku ragu untuk
memberikannya pada Rin, kalau memang sudah ada di tanganmu, semua kuserahkan
padamu. Kau bisa memberikannya pada Rin, tapi, kau juga bisa menyimpannya. Tapi
jangan kau buka.” Ia menjelaskan panjang lebar.
“Baiklah..”
aku menyetujuinya.
“Aku berangkat
sekarang, Bel. Jaga dirimu. Aku titip Rin, ya.” Vin tersenyum. Memelukku.
Kali ini aku
membalasnya. “Hati-hati. Kabari aku dan Rin.” Aku masih mendekapnya. “Vin..”
“Aku janji
tidak akan melupakanmu dan Rin.”
“Vin..” aku
mengulang.
“Ada apa?”
tanyanya,
Banyak orang
yang memperhatikan kami. “Aku mencintaimu..” deg! Aku mengatakannya.
“Ah, Bel,
namaku sudah dipanggil.” Vin melepaskan
dekapannya. “Aku benar-benar harus pergi.” Vin tersenyum lagi. “Sampai jumpa!”
Aku masih
memandanginya. Menatap punggungnya yang menjauh. Aku yakin, kata-kataku yang
tadi tidak terdengar. Sangat yakin. Tempat ini sangat ramai. Sangat berisik.
Sangat-sangat.
***
Aku kembali ke
rumah. Lantas masuk ke kamar menimang kotak pemberian Vin. Kubuka milikku.
Isinya notes lucu dan sebuah boneka hamtaro. Ada pesan di dalam notes tersebut.
Sekarang, yang
kutimang adalah kotak untuk Rin. Aku sangat ingin tahu apa isinya. Tapi, aku
hargai privasi Rin. Aku memilih memberikannya saja. daripada aku dihantui rasa
ingin tahu.
Besok. Besok
aku akan ke rumah Rin.
***
Empat tahun
berlalu. Kami lulus tepat waktu.
Besok Vin
pulang. Aku dan Rin berencana menjemputnya di stasiun kereta. Aku tidak sabar
bertemu dengan Vin lagi.
Di Stasiun,
Rin duduk dengan tenang. Sebaliknya, aku gelisah, senang dan lain-lain perasaan
bercampur menjadi satu.
“Hei, Bel! Aku
yakin kau bisa lebih tenang sedikit.” Rin protes melihat tingkahku.
Aku
menggerutu. “Tidak bisa.” Kataku kesal.
Rin menyerah.
“Ya sudah.”
Kereta datang.
Penumpang dimuntahkan dari dalam gerbong. Ratusan, bahkan ribuan jumlahnya. Di mana
Vin?
“Bel!” aku
mendengar teriakan dari suara yang kukenal. Vin!
Aku menoleh
gembira. Tapi, senyum yang awalnya merekah hampir padam ketika aku menyadari
bahwa Rin sudah ada dalam rangkulan Vin. “Hai!” aku menyapa seolah
berbunga-bunga.
“Bel, aku dan Rin
akan menikah.” Kata Vin tiba-tiba. Jantungku seakan ditimpa batu berat dan
tajam. Sakit. “Maaf baru mengabarkan ini padamu. Karena semuanya belum pasti
sampai bulan lalu.”
“Oh ya? Aku
turut senang, Vin. Akhirnya cintamu terbalas.” Kataku sumringah—pura-pura
sumringah, maksudku.
Apa-apaan ini?
Vin bilang akan membayar semua hutangnya padaku. Nyatanya tidak. Maksudku,
hutang itu.. sebuah perasaan yang sama. Bukan.. bukan yang lain.
“Ini semua
berkat kau, Bel. Kau memilih memberikan kotak yang kutitipkan padamu untuk Rin.
Sebenarnya, isi dari kotak itu adalah surat lamaranku. Terima kasih untukmu,
Bel!”
DEG!!!! Betapa
hancur hatiku mendengarnya. Semua karenaku, Vin bilang? “Aku turut bahagia.”
Aku tersenyum, agak kecut.
Mengapa ini
semua terjadi? Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakah ini akan tetap
terjadi? Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakan Vin akhirnya bisa ‘melihatku’?
Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakah mereka tetap akan bersatu? Kalau
saja waktu itu kutegaskan kata-kataku bahwa aku mencintai Vin, apakah Vin akan
kembali untukku? Bukan Rin.
Kalau saja aku
mengatakan yang sesungguhnya, walaupun tidak terbalas, setidaknya aku lega.
Ah.. sungguh,
kalau saja…
30 April 2015, 23 :32 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar