Rabu, 10 Juni 2015



SURAT UNTUK KAWAN
Apa kabar? Pasti kau baik-baik saja, bukan? Ah, semoga saja kau membalas surat ini.
Surat ini tidak memperhatikan ejaan, apalagi yang disempurnakan. Tapi, aku harap kau tetap membacanya.
Kawan, apa kau merindukanku? Kau dan sikapmu terlalu acuh tak acuh. Aku tidak bisa membacamu. Kau sulit untuk kubaca. Apa ini pertanda bahwa aku tidak memahamimu? Setelah persahabatan yang kita jalin selama ini, apa aku sangat tidak memahamimu?
Kawan, taukah kau bahwa aku kini merindukanmu? Merindukan kebersamaan kita yang dulu. Merindukan canda kita, tawa kita yang ringan, obrolan kita yang itu-itu saja tanpa kita merasa bosan dan semua khayalan konyol kita. Aku merindukan itu semua.
Taukah kau, kawan? Aku sangat bahagia bisa mengenalmu. Aku sangat-sangat-sangat-sangat bahagia mengenalmu. Apa kau juga? Aku masih sering bertanya-tanya. Aku takut hanya berkawan pada bayangan. Aku takut hanya bahagia sendiri. Aku takut kau tidak merasakan hal yang sama.
Kita bisa berbagi cerita berdua, bukan? Kita biasa melakukannya, kan? Hanya aku dan kau saja. bagiku itu cukup. Tapi, kenapa kau memilih kawan baru? Apa aku saja tidak cukup? Padahal aku pikir aku kau akan tetap berbagi cerita denganku walaupun  kau sudah memilih kawan baru, tapi, kenapa kau tidak melakukan itu? Padahal aku menunggu.
Lantas aku ada kawan baru. Kenapa kau menghakimi kawanku itu? Kau juga pasti sedikit menghakimiku. Kenapa? Aku tidak berusaha mencari pelarian, tapi aku rasa itu cukup adil untukmu. Untukku juga.
Kenapa kita jadi semakin jarang berbagi cerita? Bahkan, untuk sekedar obrolan saat berkumpul pun hampir tak ada.
Kawan, taukah kau, betapa menyesalnya aku salah paham padamu waktu itu? Lantas, kenapa kau diam saja? aku tau kau kecewa. Aku tau kau kecewa. Aku tau.
Kawan, kuakui aku sangat bodoh untuk tidak memberanikan diri berbincang denganmu untuk meluruskan semuanya sampai akhir. Aku sungguh menyesal.
Kawan, taukah kau aku cukup bahagia jika hanya kita berdua. Tapi kenapa kau juga menomorduakan aku dalam berbagi ceritamu? Kita tau itu bukan lagi sebuah rahasia. Kita tau, kan? Lantas kenapa?
Permohonan maafku. Apakah kau ikhlas memberikannya padaku? Apakah kau ikhlas? Lantas mengapa raut wajahmu tidak berubah? Apa lagi-lagi salahku yang tidak juga bisa memahamimu?
Kawan, maafkan aku. Aku memohon dengan sangat. Bisakah? Sediakah kau?
Surat ini untukmu. Bukan yang lain. Bacalah. Jawablah. Aku sungguh-sungguh.

Pernah



PERNAHKAH BERSAJAK AKU PERNAH?

Pernahkah kau menulis sebuah surat? Ditujukan untuknya namun kau tak mengirimnya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis puisi? Yang dia adalah pemeran utama di dalamnya. Kau menangis, kau mencaci, kau membenci dirimu yang tak bisa berhenti mencintainya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis namanya di pasir pantai? Berharap namanya akan tersapu ombak, menghilang, begitu juga dari dalam hatimu? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau membiarkan tinta menggoreskan jejak yang membentuk namanya di kertas tanpa kau sadari? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau bernyanyi karena merasa lagu itu sesuai dengan keadaanmu? Pernahkah? Aku pernah. Maaf, aku sering.
Pernahkah kau berlari saat melihat kedatangannya? Takut kau bertingkah bodoh di hadapannya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau memilih memalingkan wajah darinya? Sedangkan jarang ada kesempatan kau untuk bisa memandangnya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau merasa cemburu padahal kau bukanlah dunianya? Pernahkah? Jangan tanya aku. Itu pertanyaan retoris.
Pernahkah kau melakukan hal yang tabu? Menyatakan cinta (lebih dulu)? Hey, aku pernah.
Pernahkah kau menanti tanpa ada janji sebelumnya? Pernahkah? Aku pernah. Itu karena aku berharap.
Pernahkah kau kecewa karena dia tak juga paham? Pernahkah? Aku? Entahlah, aku tidak benar-benar mengerti.
Pernahkah kau dengan tidak sengaja menyematkannya dalam mimpimu? Pernahkah? Aku? Tentu saja. itu di luar kemampuanku.
Pernahkah? Aku pernah…bahkan masih.

Melati Nur Fajriani, 10 Juni 2015