SURAT UNTUK KAWAN
Apa kabar? Pasti kau baik-baik
saja, bukan? Ah, semoga saja kau membalas surat ini.
Surat ini tidak memperhatikan
ejaan, apalagi yang disempurnakan. Tapi, aku harap kau tetap membacanya.
Kawan, apa kau merindukanku? Kau dan
sikapmu terlalu acuh tak acuh. Aku tidak bisa membacamu. Kau sulit untuk
kubaca. Apa ini pertanda bahwa aku tidak memahamimu? Setelah persahabatan yang
kita jalin selama ini, apa aku sangat tidak memahamimu?
Kawan, taukah kau bahwa aku kini
merindukanmu? Merindukan kebersamaan kita yang dulu. Merindukan canda kita,
tawa kita yang ringan, obrolan kita yang itu-itu saja tanpa kita merasa bosan
dan semua khayalan konyol kita. Aku merindukan itu semua.
Taukah kau, kawan? Aku sangat
bahagia bisa mengenalmu. Aku sangat-sangat-sangat-sangat bahagia mengenalmu. Apa
kau juga? Aku masih sering bertanya-tanya. Aku takut hanya berkawan pada
bayangan. Aku takut hanya bahagia sendiri. Aku takut kau tidak merasakan hal
yang sama.
Kita bisa berbagi cerita berdua,
bukan? Kita biasa melakukannya, kan? Hanya aku dan kau saja. bagiku itu cukup. Tapi,
kenapa kau memilih kawan baru? Apa aku saja tidak cukup? Padahal aku pikir aku
kau akan tetap berbagi cerita denganku walaupun
kau sudah memilih kawan baru, tapi, kenapa kau tidak melakukan itu? Padahal
aku menunggu.
Lantas aku ada kawan baru. Kenapa
kau menghakimi kawanku itu? Kau juga pasti sedikit menghakimiku. Kenapa? Aku tidak
berusaha mencari pelarian, tapi aku rasa itu cukup adil untukmu. Untukku juga.
Kenapa kita jadi semakin jarang
berbagi cerita? Bahkan, untuk sekedar obrolan saat berkumpul pun hampir tak
ada.
Kawan, taukah kau, betapa
menyesalnya aku salah paham padamu waktu itu? Lantas, kenapa kau diam saja? aku
tau kau kecewa. Aku tau kau kecewa. Aku tau.
Kawan, kuakui aku sangat bodoh
untuk tidak memberanikan diri berbincang denganmu untuk meluruskan semuanya
sampai akhir. Aku sungguh menyesal.
Kawan, taukah kau aku cukup
bahagia jika hanya kita berdua. Tapi kenapa kau juga menomorduakan aku dalam
berbagi ceritamu? Kita tau itu bukan lagi sebuah rahasia. Kita tau, kan? Lantas
kenapa?
Permohonan maafku. Apakah kau
ikhlas memberikannya padaku? Apakah kau ikhlas? Lantas mengapa raut wajahmu
tidak berubah? Apa lagi-lagi salahku yang tidak juga bisa memahamimu?
Kawan, maafkan aku. Aku memohon
dengan sangat. Bisakah? Sediakah kau?
Surat ini untukmu. Bukan yang
lain. Bacalah. Jawablah. Aku sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar