Rabu, 09 Maret 2016

Sedikit Tentang

aku bukan orang bodoh
aku yakin
tapi malam ini dingin
sedangkan aku lebih memilih
mengunyah eskrim daripada jatuh ke pelukan selimut

aku bukan orang buta
tapi aku memilih untuk tidak melihat
bukan perkara maksiat
aku hanya menahan memandang yang tak seharusnya

aku bukan orang aneh
tapi
kulihat kawan bukan bertatap
malah melarikan diri

ini bukan soal hati
mungkin ini soal memori
entah kenapa
aku baru menyadari
betapa aku adalah ahli sejarah yang hebat
ingatan tentang suatu hal terus berkelebat

aku ini tidak peduli
tapi aku mencari tahu tentang sesuatu
yang harusnya tidak pernah kucari

aku bukan pecinta
tapi aku tidak bisa melepaskan
dia yang pernah ada

aku bukan sosok yang statis
walaupun juga tidak begitu dinamis
tapi aku tidak bergerak
dalam satu titik kehidupan yang meyakitkan

aku bisa bela diri
tapi ketika suatu hal menyakitiku
aku tidak memberikan tendangan terbaikku

aku bisa berlari
tapi dalam hal ini
aku berlari tapi selalu kembali

aku bisa bernyanyi
tapi
malam ini bukan malam biasa
bahkan lagu ceria pun berubah jadi sendu

aku suka hujan
tapi kini ketika hujan datang
aku berlari menghindari

aku suka tertawa
tapi malam ini
tawaku pergi entah kemana

ini tidak berat
hanya saja ini terlihat sedikit lucu

semuanya terasa teringkari
yang kulakukan berlawan dengan yang kumampukan
apakah perihal aku mencintaimu
tapi melepasmu adalah hal yang benar?

untuk yang satu ini
jawabannya sudah kutahu
tapi
malam ini
rasanya aku tidak ingin tahu apa yang benar menurut akalku
bisakah kali ini aku ikuti dulu kata hatiku?

aku benci tangisan
tapi aku menangis

layaknya aku benci pemakaman
tapi suatu hari aku pasti dimakamkan

aku benci
tapi kulakukan

aku benci hatiku
tapi aku tidak pernah memihak pada akalku

malam ini
aku memilih eskrim..
ia dingin, tidak menipu, menemaniku
bukan selimut, hangat, tapi akurasa
selimut bukan pilihan tepat untuk mataku yang mulai berkaca ini

selamat malam, rindu
akhirnya setelah sekian lama
kita bertemu dalam sebuah perpisahan


Bandung, 09 Maret 2016

Rabu, 24 Februari 2016

Akhir

Hampir tiga tahun dari sebuah akhir
asaku habis kini hampir
rasa tak hilang jua setelah kukikir
semua ini buatku tak habis pikir

Lebur
lebur semua dekati hancur
mungkin ini pembuktian umur
tapi tak luput air mata bercucur

haruskah namamu kueja
dengan jemari bagai orang buta
menyusuri selaksa makna
hanya untuk terima yang nyata

hampir tiga tahun cerita berlalu
semua rasa terasa baru
bergolak tanpa menahu
jarak atau kejelasan yang dituju

lari
mungkin aku melarikan diri
menyapu semua yang buat iri
atau menepis segala rasa dengki

pergi
mungkin kau ingin aku pergi
jauh-jauh pagi-pagi
tanpa harapkan kukembali

tapi
tunggulah beberapa waktu lagi
biarlah kucapai segala mimpi
lantas aku 'kan meninggalkan semuanya di sini

nanti
kau tak akan kuganggu lagi
kau tak akan kugenggam lagi
kau, bisa benar-benar pergi

nanti
kutuliskan kisah tentangmu di masa yang masih kelabu
dengan sedikit catatan berisi rambu
untuk tidak meneteskan air mataku

bila
bila kisah itu usai
sepertinya tanpa lerai
aku tau saat itu asaku yang baru telah kugapai

mungkin
yang kubutuhkan adalah waktu
waktu yang membawamu ke dalam hidupku
waktu yang menggoreskan namamu di hatiku
maka kini aku serahkan lagi hatiku pada waktu
untuk sekedar mengobati luka bekas goresan namamu

waktu tidak pernah memberi tahu kenapa kau harus pergi
waktu hanya memintaku untuk sekedar mengerti
bahwa ia menghadirkanmu di hidupku untuk memberi pelajaran yang berarti

kamu
aku tau
di saat aku sudah pergi
kau tidak akan mengingatkan betapa aku berjuang untuk bertahan di masa ini
kamu
aku ingin menitipkan sedikit salam untuk ibumu
bukan maksud hati mengharap iba
tapi, izinkan salamku menyapa orang tua seorang pemberi makna
dalam salam, kuharap, ada tenteram
dalam salam, kuakhiri
diri ini, undur diri :"

Melati Nur Fajriani
Telkom University
Februari, 17th 2016
23.35 WIB

Kamis, 02 Juli 2015

Tentang Seseorang

dia

Aku hanya bisa menantinya.
Aku memperhatikannya lewat media sosialnya.
Menanti-nanti tulisan-tulisan yang kuharap berisikan kata rindu atau harapan tentang yang dicintanya.
Bukan diriku, tentunya.
Bahkan, aku menantinya.
Berharap bisa melancarkan percakapan dengannya lewat tulisan.

Tapi, aku juga menantinya.
Menantinya di dalam kehidupan nyata.
Menantinya menantinya menantinya.

Aku menantinya.
Dalam detik-detik yang tidak terduga.

Terkadang, aku menolak kehadirannya.
Memilih pergi ketika dia datang.
Memilih diam daripada terlihat jelas aku tak bisa apa-apa.

Ya, aku menantinya.
Menantikan dia mengungkapkan perasaan meski bukan untukku, hanya untuk menyadarkanku bahwa khayalanku itu membuang waktu.

Aku menantinya.
Entah sampai kapan. Mungkin sampai bosan. Kapan?

Ya.. Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta.
Dalam cinta, kita "sungguh-sungguh" berbeda.

Ya, mungkin penantianku akan berakhir seperti ini.
Seperti..............ini.

Melati Nur Fajriani
Jumat, 03 Juli 2015
00:06 WIB

Rabu, 01 Juli 2015

Lihat lagu ini

Tentang Seseorang

Setelah mendengar lagu yang dilantunkan Anda ini di televisi, saya langsung memfungsikan modem untuk mengunduhnya. Monggo listen it, walaupun suara si penyanyi sepertinya belum terlatih, hal itu tetap bisa sedikit diabaikan.



Teruntukmu hatiku, ingin ku bersuara 
Merangkai semua tanya, imaji yang terlintas 
Berjalan pada satu Tanya slalu menggangguku 
Seseorang itukah dirimu kasih 
Kepada yang tercinta inginku mengeluh 
Semua resah di diri mencari jawab pasti 
Akankah seseorang yang diinginkan kan hadir 
Raut halus menyelimuti jantungku
Reff :
Cinta hanyalah cinta, hidup dan mati untukmu 
Mungkinkah semua Tanya kau yang jawab 
Dan tentang seseorang itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta

referensi dari http://lirik.kapanlagi.com/artis/anda/tentang_seseorang
gambar hasil olah sendiri

Selamat Mendengarkan
July, 2nd 2015 

Rabu, 10 Juni 2015



SURAT UNTUK KAWAN
Apa kabar? Pasti kau baik-baik saja, bukan? Ah, semoga saja kau membalas surat ini.
Surat ini tidak memperhatikan ejaan, apalagi yang disempurnakan. Tapi, aku harap kau tetap membacanya.
Kawan, apa kau merindukanku? Kau dan sikapmu terlalu acuh tak acuh. Aku tidak bisa membacamu. Kau sulit untuk kubaca. Apa ini pertanda bahwa aku tidak memahamimu? Setelah persahabatan yang kita jalin selama ini, apa aku sangat tidak memahamimu?
Kawan, taukah kau bahwa aku kini merindukanmu? Merindukan kebersamaan kita yang dulu. Merindukan canda kita, tawa kita yang ringan, obrolan kita yang itu-itu saja tanpa kita merasa bosan dan semua khayalan konyol kita. Aku merindukan itu semua.
Taukah kau, kawan? Aku sangat bahagia bisa mengenalmu. Aku sangat-sangat-sangat-sangat bahagia mengenalmu. Apa kau juga? Aku masih sering bertanya-tanya. Aku takut hanya berkawan pada bayangan. Aku takut hanya bahagia sendiri. Aku takut kau tidak merasakan hal yang sama.
Kita bisa berbagi cerita berdua, bukan? Kita biasa melakukannya, kan? Hanya aku dan kau saja. bagiku itu cukup. Tapi, kenapa kau memilih kawan baru? Apa aku saja tidak cukup? Padahal aku pikir aku kau akan tetap berbagi cerita denganku walaupun  kau sudah memilih kawan baru, tapi, kenapa kau tidak melakukan itu? Padahal aku menunggu.
Lantas aku ada kawan baru. Kenapa kau menghakimi kawanku itu? Kau juga pasti sedikit menghakimiku. Kenapa? Aku tidak berusaha mencari pelarian, tapi aku rasa itu cukup adil untukmu. Untukku juga.
Kenapa kita jadi semakin jarang berbagi cerita? Bahkan, untuk sekedar obrolan saat berkumpul pun hampir tak ada.
Kawan, taukah kau, betapa menyesalnya aku salah paham padamu waktu itu? Lantas, kenapa kau diam saja? aku tau kau kecewa. Aku tau kau kecewa. Aku tau.
Kawan, kuakui aku sangat bodoh untuk tidak memberanikan diri berbincang denganmu untuk meluruskan semuanya sampai akhir. Aku sungguh menyesal.
Kawan, taukah kau aku cukup bahagia jika hanya kita berdua. Tapi kenapa kau juga menomorduakan aku dalam berbagi ceritamu? Kita tau itu bukan lagi sebuah rahasia. Kita tau, kan? Lantas kenapa?
Permohonan maafku. Apakah kau ikhlas memberikannya padaku? Apakah kau ikhlas? Lantas mengapa raut wajahmu tidak berubah? Apa lagi-lagi salahku yang tidak juga bisa memahamimu?
Kawan, maafkan aku. Aku memohon dengan sangat. Bisakah? Sediakah kau?
Surat ini untukmu. Bukan yang lain. Bacalah. Jawablah. Aku sungguh-sungguh.

Pernah



PERNAHKAH BERSAJAK AKU PERNAH?

Pernahkah kau menulis sebuah surat? Ditujukan untuknya namun kau tak mengirimnya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis puisi? Yang dia adalah pemeran utama di dalamnya. Kau menangis, kau mencaci, kau membenci dirimu yang tak bisa berhenti mencintainya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis namanya di pasir pantai? Berharap namanya akan tersapu ombak, menghilang, begitu juga dari dalam hatimu? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau membiarkan tinta menggoreskan jejak yang membentuk namanya di kertas tanpa kau sadari? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau bernyanyi karena merasa lagu itu sesuai dengan keadaanmu? Pernahkah? Aku pernah. Maaf, aku sering.
Pernahkah kau berlari saat melihat kedatangannya? Takut kau bertingkah bodoh di hadapannya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau memilih memalingkan wajah darinya? Sedangkan jarang ada kesempatan kau untuk bisa memandangnya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau merasa cemburu padahal kau bukanlah dunianya? Pernahkah? Jangan tanya aku. Itu pertanyaan retoris.
Pernahkah kau melakukan hal yang tabu? Menyatakan cinta (lebih dulu)? Hey, aku pernah.
Pernahkah kau menanti tanpa ada janji sebelumnya? Pernahkah? Aku pernah. Itu karena aku berharap.
Pernahkah kau kecewa karena dia tak juga paham? Pernahkah? Aku? Entahlah, aku tidak benar-benar mengerti.
Pernahkah kau dengan tidak sengaja menyematkannya dalam mimpimu? Pernahkah? Aku? Tentu saja. itu di luar kemampuanku.
Pernahkah? Aku pernah…bahkan masih.

Melati Nur Fajriani, 10 Juni 2015

Kamis, 28 Mei 2015

dia



Pemilik Punggung
Sepertinya, aku mengenalnya. Mungkin pula aku pernah bertemu. Di mana? Hei, aku lupa. Tidak, aku tidak salah ingat, dia tidak mirip temanku, mungkin dia memang temanku.
Aku melihatnya dari sudut lain, iya, aku mengenalnya. Tapi pertanyaanku—lagi-lagi—di mana? Siapa dia? Teman masa SD-kah? SMP? Atau SMA-kah? TK?
Ingin rasanya aku bertanya “apakah aku mengenalmu, Tuan?” tapi aku takut tidak sopan. Ingin aku mengajaknya berbincang, tapi aku takut dikira sok akrab. Lantas, bagaimana caranya? Aku merenung sejenak.
Dia beranjak, berbalik badan.
Hei.. mungkin aku memang mengenalnya. Aku mengenal punggungnya. Aku mengenal punggung yang menjauhiku itu. Ah, ternyata dia itu… ya, aku mengenalnya. Tapi mungkin, aku memang ditakdirkan untuk melupakan pemilik punggung itu. Ya, aku ditakdirkan untuk melupakannya.
Melati Nur Fajriani, 290515