aku bukan orang bodoh
aku yakin
tapi malam ini dingin
sedangkan aku lebih memilih
mengunyah eskrim daripada jatuh ke pelukan selimut
aku bukan orang buta
tapi aku memilih untuk tidak melihat
bukan perkara maksiat
aku hanya menahan memandang yang tak seharusnya
aku bukan orang aneh
tapi
kulihat kawan bukan bertatap
malah melarikan diri
ini bukan soal hati
mungkin ini soal memori
entah kenapa
aku baru menyadari
betapa aku adalah ahli sejarah yang hebat
ingatan tentang suatu hal terus berkelebat
aku ini tidak peduli
tapi aku mencari tahu tentang sesuatu
yang harusnya tidak pernah kucari
aku bukan pecinta
tapi aku tidak bisa melepaskan
dia yang pernah ada
aku bukan sosok yang statis
walaupun juga tidak begitu dinamis
tapi aku tidak bergerak
dalam satu titik kehidupan yang meyakitkan
aku bisa bela diri
tapi ketika suatu hal menyakitiku
aku tidak memberikan tendangan terbaikku
aku bisa berlari
tapi dalam hal ini
aku berlari tapi selalu kembali
aku bisa bernyanyi
tapi
malam ini bukan malam biasa
bahkan lagu ceria pun berubah jadi sendu
aku suka hujan
tapi kini ketika hujan datang
aku berlari menghindari
aku suka tertawa
tapi malam ini
tawaku pergi entah kemana
ini tidak berat
hanya saja ini terlihat sedikit lucu
semuanya terasa teringkari
yang kulakukan berlawan dengan yang kumampukan
apakah perihal aku mencintaimu
tapi melepasmu adalah hal yang benar?
untuk yang satu ini
jawabannya sudah kutahu
tapi
malam ini
rasanya aku tidak ingin tahu apa yang benar menurut akalku
bisakah kali ini aku ikuti dulu kata hatiku?
aku benci tangisan
tapi aku menangis
layaknya aku benci pemakaman
tapi suatu hari aku pasti dimakamkan
aku benci
tapi kulakukan
aku benci hatiku
tapi aku tidak pernah memihak pada akalku
malam ini
aku memilih eskrim..
ia dingin, tidak menipu, menemaniku
bukan selimut, hangat, tapi akurasa
selimut bukan pilihan tepat untuk mataku yang mulai berkaca ini
selamat malam, rindu
akhirnya setelah sekian lama
kita bertemu dalam sebuah perpisahan
Bandung, 09 Maret 2016
Sedikit Cerita
Tak perlu serius. Ini semua hanya sebuah kisah.
Rabu, 09 Maret 2016
Rabu, 24 Februari 2016
Akhir
Hampir tiga tahun dari sebuah akhir
asaku habis kini hampir
rasa tak hilang jua setelah kukikir
semua ini buatku tak habis pikir
Lebur
lebur semua dekati hancur
mungkin ini pembuktian umur
tapi tak luput air mata bercucur
haruskah namamu kueja
dengan jemari bagai orang buta
menyusuri selaksa makna
hanya untuk terima yang nyata
hampir tiga tahun cerita berlalu
semua rasa terasa baru
bergolak tanpa menahu
jarak atau kejelasan yang dituju
lari
mungkin aku melarikan diri
menyapu semua yang buat iri
atau menepis segala rasa dengki
pergi
mungkin kau ingin aku pergi
jauh-jauh pagi-pagi
tanpa harapkan kukembali
tapi
tunggulah beberapa waktu lagi
biarlah kucapai segala mimpi
lantas aku 'kan meninggalkan semuanya di sini
nanti
kau tak akan kuganggu lagi
kau tak akan kugenggam lagi
kau, bisa benar-benar pergi
nanti
kutuliskan kisah tentangmu di masa yang masih kelabu
dengan sedikit catatan berisi rambu
untuk tidak meneteskan air mataku
bila
bila kisah itu usai
sepertinya tanpa lerai
aku tau saat itu asaku yang baru telah kugapai
mungkin
yang kubutuhkan adalah waktu
waktu yang membawamu ke dalam hidupku
waktu yang menggoreskan namamu di hatiku
maka kini aku serahkan lagi hatiku pada waktu
untuk sekedar mengobati luka bekas goresan namamu
waktu tidak pernah memberi tahu kenapa kau harus pergi
waktu hanya memintaku untuk sekedar mengerti
bahwa ia menghadirkanmu di hidupku untuk memberi pelajaran yang berarti
kamu
aku tau
di saat aku sudah pergi
kau tidak akan mengingatkan betapa aku berjuang untuk bertahan di masa ini
kamu
aku ingin menitipkan sedikit salam untuk ibumu
bukan maksud hati mengharap iba
tapi, izinkan salamku menyapa orang tua seorang pemberi makna
dalam salam, kuharap, ada tenteram
dalam salam, kuakhiri
diri ini, undur diri :"
Melati Nur Fajriani
Telkom University
Februari, 17th 2016
23.35 WIB
asaku habis kini hampir
rasa tak hilang jua setelah kukikir
semua ini buatku tak habis pikir
Lebur
lebur semua dekati hancur
mungkin ini pembuktian umur
tapi tak luput air mata bercucur
haruskah namamu kueja
dengan jemari bagai orang buta
menyusuri selaksa makna
hanya untuk terima yang nyata
hampir tiga tahun cerita berlalu
semua rasa terasa baru
bergolak tanpa menahu
jarak atau kejelasan yang dituju
lari
mungkin aku melarikan diri
menyapu semua yang buat iri
atau menepis segala rasa dengki
pergi
mungkin kau ingin aku pergi
jauh-jauh pagi-pagi
tanpa harapkan kukembali
tapi
tunggulah beberapa waktu lagi
biarlah kucapai segala mimpi
lantas aku 'kan meninggalkan semuanya di sini
nanti
kau tak akan kuganggu lagi
kau tak akan kugenggam lagi
kau, bisa benar-benar pergi
nanti
kutuliskan kisah tentangmu di masa yang masih kelabu
dengan sedikit catatan berisi rambu
untuk tidak meneteskan air mataku
bila
bila kisah itu usai
sepertinya tanpa lerai
aku tau saat itu asaku yang baru telah kugapai
mungkin
yang kubutuhkan adalah waktu
waktu yang membawamu ke dalam hidupku
waktu yang menggoreskan namamu di hatiku
maka kini aku serahkan lagi hatiku pada waktu
untuk sekedar mengobati luka bekas goresan namamu
waktu tidak pernah memberi tahu kenapa kau harus pergi
waktu hanya memintaku untuk sekedar mengerti
bahwa ia menghadirkanmu di hidupku untuk memberi pelajaran yang berarti
kamu
aku tau
di saat aku sudah pergi
kau tidak akan mengingatkan betapa aku berjuang untuk bertahan di masa ini
kamu
aku ingin menitipkan sedikit salam untuk ibumu
bukan maksud hati mengharap iba
tapi, izinkan salamku menyapa orang tua seorang pemberi makna
dalam salam, kuharap, ada tenteram
dalam salam, kuakhiri
diri ini, undur diri :"
Melati Nur Fajriani
Telkom University
Februari, 17th 2016
23.35 WIB
Kamis, 02 Juli 2015
Tentang Seseorang
dia 
Aku hanya bisa menantinya.
Aku memperhatikannya lewat media sosialnya.
Menanti-nanti tulisan-tulisan yang kuharap berisikan kata rindu atau harapan tentang yang dicintanya.
Bukan diriku, tentunya.
Bahkan, aku menantinya.
Berharap bisa melancarkan percakapan dengannya lewat tulisan.
Tapi, aku juga menantinya.
Menantinya di dalam kehidupan nyata.
Menantinya menantinya menantinya.
Aku menantinya.
Dalam detik-detik yang tidak terduga.
Terkadang, aku menolak kehadirannya.
Memilih pergi ketika dia datang.
Memilih diam daripada terlihat jelas aku tak bisa apa-apa.
Ya, aku menantinya.
Menantikan dia mengungkapkan perasaan meski bukan untukku, hanya untuk menyadarkanku bahwa khayalanku itu membuang waktu.
Aku menantinya.
Entah sampai kapan. Mungkin sampai bosan. Kapan?
Ya.. Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta.
Dalam cinta, kita "sungguh-sungguh" berbeda.
Ya, mungkin penantianku akan berakhir seperti ini.
Seperti..............ini.
Aku hanya bisa menantinya.
Aku memperhatikannya lewat media sosialnya.
Menanti-nanti tulisan-tulisan yang kuharap berisikan kata rindu atau harapan tentang yang dicintanya.
Bukan diriku, tentunya.
Bahkan, aku menantinya.
Berharap bisa melancarkan percakapan dengannya lewat tulisan.
Tapi, aku juga menantinya.
Menantinya di dalam kehidupan nyata.
Menantinya menantinya menantinya.
Aku menantinya.
Dalam detik-detik yang tidak terduga.
Terkadang, aku menolak kehadirannya.
Memilih pergi ketika dia datang.
Memilih diam daripada terlihat jelas aku tak bisa apa-apa.
Ya, aku menantinya.
Menantikan dia mengungkapkan perasaan meski bukan untukku, hanya untuk menyadarkanku bahwa khayalanku itu membuang waktu.
Aku menantinya.
Entah sampai kapan. Mungkin sampai bosan. Kapan?
Ya.. Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta.
Dalam cinta, kita "sungguh-sungguh" berbeda.
Ya, mungkin penantianku akan berakhir seperti ini.
Seperti..............ini.
Melati Nur Fajriani 
Jumat, 03 Juli 2015
00:06 WIB
Rabu, 01 Juli 2015
Lihat lagu ini
Tentang Seseorang
Setelah mendengar lagu yang dilantunkan Anda ini di televisi, saya langsung memfungsikan modem untuk mengunduhnya. Monggo listen it, walaupun suara si penyanyi sepertinya belum terlatih, hal itu tetap bisa sedikit diabaikan.
Teruntukmu hatiku, ingin ku bersuara
Merangkai semua tanya, imaji yang terlintas
Berjalan pada satu Tanya slalu menggangguku
Seseorang itukah dirimu kasih
Kepada yang tercinta inginku mengeluh
Semua resah di diri mencari jawab pasti
Akankah seseorang yang diinginkan kan hadir
Raut halus menyelimuti jantungku
Reff :
Cinta hanyalah cinta, hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua Tanya kau yang jawab
Dan tentang seseorang itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta
referensi dari http://lirik.kapanlagi.com/artis/anda/tentang_seseorang
gambar hasil olah sendiri
Selamat Mendengarkan
Setelah mendengar lagu yang dilantunkan Anda ini di televisi, saya langsung memfungsikan modem untuk mengunduhnya. Monggo listen it, walaupun suara si penyanyi sepertinya belum terlatih, hal itu tetap bisa sedikit diabaikan.
Teruntukmu hatiku, ingin ku bersuara
Merangkai semua tanya, imaji yang terlintas
Berjalan pada satu Tanya slalu menggangguku
Seseorang itukah dirimu kasih
Kepada yang tercinta inginku mengeluh
Semua resah di diri mencari jawab pasti
Akankah seseorang yang diinginkan kan hadir
Raut halus menyelimuti jantungku
Reff :
Cinta hanyalah cinta, hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua Tanya kau yang jawab
Dan tentang seseorang itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta
referensi dari http://lirik.kapanlagi.com/artis/anda/tentang_seseorang
gambar hasil olah sendiri
Selamat Mendengarkan
July, 2nd 2015  
Rabu, 10 Juni 2015
SURAT UNTUK KAWAN
Apa kabar? Pasti kau baik-baik
saja, bukan? Ah, semoga saja kau membalas surat ini.
Surat ini tidak memperhatikan
ejaan, apalagi yang disempurnakan. Tapi, aku harap kau tetap membacanya.
Kawan, apa kau merindukanku? Kau dan
sikapmu terlalu acuh tak acuh. Aku tidak bisa membacamu. Kau sulit untuk
kubaca. Apa ini pertanda bahwa aku tidak memahamimu? Setelah persahabatan yang
kita jalin selama ini, apa aku sangat tidak memahamimu?
Kawan, taukah kau bahwa aku kini
merindukanmu? Merindukan kebersamaan kita yang dulu. Merindukan canda kita,
tawa kita yang ringan, obrolan kita yang itu-itu saja tanpa kita merasa bosan
dan semua khayalan konyol kita. Aku merindukan itu semua.
Taukah kau, kawan? Aku sangat
bahagia bisa mengenalmu. Aku sangat-sangat-sangat-sangat bahagia mengenalmu. Apa
kau juga? Aku masih sering bertanya-tanya. Aku takut hanya berkawan pada
bayangan. Aku takut hanya bahagia sendiri. Aku takut kau tidak merasakan hal
yang sama.
Kita bisa berbagi cerita berdua,
bukan? Kita biasa melakukannya, kan? Hanya aku dan kau saja. bagiku itu cukup. Tapi,
kenapa kau memilih kawan baru? Apa aku saja tidak cukup? Padahal aku pikir aku
kau akan tetap berbagi cerita denganku walaupun 
kau sudah memilih kawan baru, tapi, kenapa kau tidak melakukan itu? Padahal
aku menunggu.
Lantas aku ada kawan baru. Kenapa
kau menghakimi kawanku itu? Kau juga pasti sedikit menghakimiku. Kenapa? Aku tidak
berusaha mencari pelarian, tapi aku rasa itu cukup adil untukmu. Untukku juga. 
Kenapa kita jadi semakin jarang
berbagi cerita? Bahkan, untuk sekedar obrolan saat berkumpul pun hampir tak
ada.
Kawan, taukah kau, betapa
menyesalnya aku salah paham padamu waktu itu? Lantas, kenapa kau diam saja? aku
tau kau kecewa. Aku tau kau kecewa. Aku tau. 
Kawan, kuakui aku sangat bodoh
untuk tidak memberanikan diri berbincang denganmu untuk meluruskan semuanya
sampai akhir. Aku sungguh menyesal.
Kawan, taukah kau aku cukup
bahagia jika hanya kita berdua. Tapi kenapa kau juga menomorduakan aku dalam
berbagi ceritamu? Kita tau itu bukan lagi sebuah rahasia. Kita tau, kan? Lantas
kenapa?
Permohonan maafku. Apakah kau
ikhlas memberikannya padaku? Apakah kau ikhlas? Lantas mengapa raut wajahmu
tidak berubah? Apa lagi-lagi salahku yang tidak juga bisa memahamimu?
Kawan, maafkan aku. Aku memohon
dengan sangat. Bisakah? Sediakah kau?
Surat ini untukmu. Bukan yang
lain. Bacalah. Jawablah. Aku sungguh-sungguh.
Pernah
PERNAHKAH BERSAJAK
AKU PERNAH?
Pernahkah kau menulis sebuah surat? Ditujukan untuknya namun
kau tak mengirimnya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis puisi? Yang dia adalah pemeran utama
di dalamnya. Kau menangis, kau mencaci, kau membenci dirimu yang tak bisa
berhenti mencintainya. Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau menulis namanya di pasir pantai? Berharap
namanya akan tersapu ombak, menghilang, begitu juga dari dalam hatimu?
Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau membiarkan tinta menggoreskan jejak yang
membentuk namanya di kertas tanpa kau sadari? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau bernyanyi karena merasa lagu itu sesuai dengan
keadaanmu? Pernahkah? Aku pernah. Maaf, aku sering.
Pernahkah kau berlari saat melihat kedatangannya? Takut kau
bertingkah bodoh di hadapannya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau memilih memalingkan wajah darinya? Sedangkan
jarang ada kesempatan kau untuk bisa memandangnya? Pernahkah? Aku pernah.
Pernahkah kau merasa cemburu padahal kau bukanlah dunianya?
Pernahkah? Jangan tanya aku. Itu pertanyaan retoris.
Pernahkah kau melakukan hal yang tabu? Menyatakan cinta
(lebih dulu)? Hey, aku pernah.
Pernahkah kau menanti tanpa ada janji sebelumnya? Pernahkah?
Aku pernah. Itu karena aku berharap.
Pernahkah kau kecewa karena dia tak juga paham? Pernahkah?
Aku? Entahlah, aku tidak benar-benar mengerti.
Pernahkah kau dengan tidak sengaja menyematkannya dalam
mimpimu? Pernahkah? Aku? Tentu saja. itu di luar kemampuanku.
Pernahkah? Aku pernah…bahkan masih.
Melati Nur Fajriani, 10
Juni 2015
Kamis, 28 Mei 2015
dia
Pemilik Punggung
Sepertinya, aku mengenalnya.
Mungkin pula aku pernah bertemu. Di mana? Hei, aku lupa. Tidak, aku tidak salah
ingat, dia tidak mirip temanku, mungkin dia memang temanku.
Aku melihatnya dari sudut lain,
iya, aku mengenalnya. Tapi pertanyaanku—lagi-lagi—di mana? Siapa dia? Teman
masa SD-kah? SMP? Atau SMA-kah? TK?
Ingin rasanya aku bertanya
“apakah aku mengenalmu, Tuan?” tapi aku takut tidak sopan. Ingin aku
mengajaknya berbincang, tapi aku takut dikira sok akrab. Lantas, bagaimana caranya?
Aku merenung sejenak.
Dia beranjak, berbalik badan.
Hei.. mungkin aku memang
mengenalnya. Aku mengenal punggungnya. Aku mengenal punggung yang menjauhiku
itu. Ah, ternyata dia itu… ya, aku mengenalnya. Tapi mungkin, aku memang
ditakdirkan untuk melupakan pemilik punggung itu. Ya, aku ditakdirkan untuk
melupakannya.
Melati
Nur Fajriani, 290515
Langganan:
Komentar (Atom)
 
