Kamis, 28 Mei 2015

dia



Pemilik Punggung
Sepertinya, aku mengenalnya. Mungkin pula aku pernah bertemu. Di mana? Hei, aku lupa. Tidak, aku tidak salah ingat, dia tidak mirip temanku, mungkin dia memang temanku.
Aku melihatnya dari sudut lain, iya, aku mengenalnya. Tapi pertanyaanku—lagi-lagi—di mana? Siapa dia? Teman masa SD-kah? SMP? Atau SMA-kah? TK?
Ingin rasanya aku bertanya “apakah aku mengenalmu, Tuan?” tapi aku takut tidak sopan. Ingin aku mengajaknya berbincang, tapi aku takut dikira sok akrab. Lantas, bagaimana caranya? Aku merenung sejenak.
Dia beranjak, berbalik badan.
Hei.. mungkin aku memang mengenalnya. Aku mengenal punggungnya. Aku mengenal punggung yang menjauhiku itu. Ah, ternyata dia itu… ya, aku mengenalnya. Tapi mungkin, aku memang ditakdirkan untuk melupakan pemilik punggung itu. Ya, aku ditakdirkan untuk melupakannya.
Melati Nur Fajriani, 290515

Tanyaku



Punyakah Aku Kau?
Punyakah aku kau?
Punyakah kau aku?
Punyakukah kau?
Punya kau kah aku?
                Punyakah aku kau?
                Sejenak ada
                Ingin kudekap, lenyap
Punyakah kau aku?
Inginkah hasratmu?
Aku ingin katakan “aku rela”
Inginkah kau hati ini?
                Punyakukah kau?
                Yang datang tak berkala
                Yang kebaikannya berbisik
                Yang tak ya tak jua tidak
Punya kau kah aku?
Sedang, aku hanya ingin dimilikimu
Punya kau kah?
Punyakah aku hati yang ingin kau miliki?
Punyakah kau aku?

Melati Nur Fajriani, 29 Mei 2015

Sabtu, 02 Mei 2015

Hanya



CINTA SATU SISI
Melati NF

                Bukan alasan yang serius saat aku merasa aku mencintaimu. Hanya rikuh, dan jantung yang bergemuruh. Hanya itu. Saat aku tak sanggup sekedar mematri diri di sekitarmu, ya saat itu, aku jatuh cinta.
                Sesuatu yang membuatku nyaman, bukan sesuatu yang buatku jatuh cinta, mungkin hanya sekadar jatuh hati.
                Belum lama ini, orang yang membuatku rikuh mengatakan ‘aku akan klarifikasi’. Hal apa yang harus diklarifikasi? Ia tidak suka aku? Ah, aku hanya menebak. Jika memang benar itu, rasanya aku juga ingin katakan ‘tak perlu, aku sudah tahu’. Atau ia ingin katakan ‘jangan berharap lebih, aku bersikap baik padamu, tidak ada arti apa-apa’, lagi-lagi jika hal itu yang ingin ia klarifikasi aku hanya ingin katakan ‘tak perlu, aku sudah paham itu’.
                Bagaimanapun, dengan proses apapun, jika aku yang cinta, aku tak mudah hapuskan. Aku merasakan sesal atas apa yang kulakukan. Mengatakan ‘aku cinta kau’ padanya. Tapi mungkin pula aku akan lebih menyesal ketika aku tidak pernah mengatakannya.
                Berani sekali? Tidak. Justru, aku melakukannya karena aku takut kehilangan. Ya, bodohnya, aku takut kehilangan sesuatu yang tidak kumiliki.
                Lantas, bagaimana sekarang? Aku takut mendengar sesuatu yang akan diucapkan nanti olehnya. Jika hal di atas yang benar-benar akan ia ucap, aku takut asaku lebur. Jika hal di atas yang ingin ia ucapkan, pastilah aku akan bertanya-tanya ‘apakah aku sudah tak miliki kesempatan?’. Ah, padahal sejauh ini memang aku tak sempat melihat kesempatan itu muncul.
                Maafkan aku. Hanya itu yang ingin aku ucapkan. Aku hanya takut mendengar yang nyata, aku sadari, aku hidup dalam penuh khayal selama ini. Menyulam cinta dengan harap yang palsu.
                Maafkan aku, kau yang di sana. Cinta satu sisi ini mungkin memberatkanmu. Tapi, tidak juga meringankanku. Maafkan rasa ini. Rasa yang tak ingin mati. Rasa yang sudah kau ketahui. Tapi, maafkan aku, sungguh, aku tak ingin kau membiarkanku menghapus rasa ini. Cinta satu sisi ini.

Jumat, 01 Mei 2015

Ekhemm



KALAU SAJA
(oleh : Melati Nur Fajriani & Tamara Chrysanthy)

                Aku, Vin dan Rin sejak SMP sudah berteman dekat. Oh ya, aku lupa, namaku Bel. Dekat, sangat dekat. Tapi aku merasa lebih dekat dengan Vin daripada Rin. Aku dan Vin lebih sering bersama, karena aku dan Vin sekelas dari kelas 2 SMP. Di SMA, lagi-lagi aku sekelas dengan Vin. Sedangkan Rin, dia selalu terpisah dengan kami. Kami hanya pernah sekelas di kelas satu SMP. Itulah penyebab aku lebih dekat dengan Vin. Kendati seperti itu, tetap tak sedikit kegiatan yang kami lakukan bertiga.
                Bosan sekelas dengan Vin dari SMP, nyatanya, di kelas 3 SMA akhirnya aku terpisah dari Vin. Dan Rin, dia tetap tidak sekelas denganku ataupun Vin. Tak masalah, kami tetap berangkat dan pulang bersama, rumah kami searah. Hang out bertiga dan selalu menghabiskan waktu istirahat bersama.
                Tapi, pisah kelas dengan Vin membuatku tidak nyaman. Ada yang hilang, kurasa. Bagaimana dengan Rin selama ini? Aku jadi lebih sering merindukan Vin. Haha, itu hal aneh. Ah, mungkin karena aku tidak biasa saja jauh dari Vin.
                Tapi, tidak. Ternyata lebih dari itu. Aku mulai merasakan hal yang lain. Akhir-akhir ini aku mendengar Vin sedang dekat dengan salah satu teman kelasnya. Aku tidak suka itu terjadi. Aku jadi sangat emosional—saat ini sering disebut ‘membawa perasaan—ketika berbincang dengan Vin tentang seseorang yang disukai.
                “Hei, Bel. Adakah seseorang yang kau sukai?” Tanya Vin ketika kami sedang duduk di beranda kamarku. Tanpa Rin. Rin sedang sibuk mengurus klub karatenya.
                Aku tertegun mendengarnya. “Tidak. Tidak untuk saat ini.” Aku sedikit berbohong. “Kenapa? Apa kau sedang jatuh cinta, Vin?” aku mencoba mengalirkan pembicaraan.
                Ia menoleh padaku. Hanya tersenyum. Hei! Itu bukan jawaban. Hening sejenak.
                “Mungkin.” Ia buka suara.
                Deg! Aku cukup terkejut mendengarnya. Ada apa ini. Aku jadi rikuh.
                “Mungkin ya.”  Katanya lagi.
                Aku mencoba tetap santai. “Siapa?” tanyaku. Haha, bodoh. Semoga aku sanggup mendengar jawabannya.
                “Aku belum bisa menjawabnya sekarang, Bel. Aku sendiri belum yakin. Aku merasa aneh akhir-akhir ini jika ada orang itu. Aku jadi salah tingkah.”
                “Kalau begitu, yakinkanlah!” kataku asal. “Sebentar lagi kita lulus, kuharap kau tidak menyesal karena telat menyadarinya, Vin.” Aku memaksakan tersenyum.
                Vin menoleh sebentar padaku. Menatapku. Membuatku canggung, lantas berpaling lagi. Ia menatap langit senja yang mulai gelap keunguan. Dari ekor mataku, kulihat Vin tersenyum. Rasanya saat ini aku sangat ingin menyelami pikirannya.
                ***
                Ujian Nasional sudah berlalu. Dan….aku, Vin juga Rin menghabiskan waktu liburan yang diberikan dengan cara berkemah di salah satu tempat kemah daerah Bogor. Hanya kami bertiga. Aku sangat suka hal ini.
                Kami menyewa dua tenda. Satu untukku dan Rin. Satu lagi tentu saja untuk Vin.
                “Hei! Kalian enak sekali. Tidur berdua. Hangat. Bagaimana denganku?” tanyanya menggoda. Pura-pura memberengut, merajuk.
                “Kau punya tas yang cukup besar untuk kau peluk dan menghangatkanmu, kawan.” Rin menyahut.
                “Apa maksudmu?” Vin merengut kemudian tersenyum jahil. “Aku mau kau, bukan tasku.” Kata Vin sambil mendirikan tendanya sendiri. Rin sendiri hanya tertawa mendengarnya. Aku ikut tersenyum kecil. Teman-temanku ini ada-ada saja.
                Tenda sudah siap. Tenda Vin berdiri—dengan agak aneh—beberapa meter dari tendaku dan Rin. Aku dan Rin menertawakan Vin yang—sungguh—tidak sama sekali memiliki keahlian mendirikan tenda.
                “Ini karena aku membuatnya sendiri. Kalian berdua.”
“Banyak alasan, kau, Vin. Akui saja kenapa sih?”  Rin ikut menghakimi. “Kau ‘kan memang payah dalam urusan begini.”
“Baiklah. Kalian selalu menang dalam hal menghakimiku. Curang. Mana boleh selalu seperti ini. Dua lawan satu.” Vin menggerutu.
“Sudahlah. Ayo kita mengambil air dan mencari kayu bakar.” Aku menghentikan candaan.
“Aku yang mengambil air!!” Vin dan Rin berteriak bersamaan. Lalu saling menoleh.
Rin tidak terima. “Aku yang mengatakannya lebih dulu!”
“Aku!” Vin tidak mau mengalah.
“Aku!!!”
“HHHHHEEEIIII!!!!!!!” aku tidak kalah ikut teriak. “Sudah. Kalian ambil air berdua. Biar aku yang mencari kayu bakar. Berisik.” Aku menggerutu. Vin dan Rin terkekeh melihatku. Sial!
***
Pukul sebelas malam. Api unggun yang kami buat sudah padam sekitar satu jam yang lalu. Yang tersisa tinggal sedikit bara kayu, abu, dan asap tipis yang lebih dulu disergap angin sebelum terbang tinggi.
Aku keluar dari tenda. Rin sudah pulas, sedangkan aku memejamkan mata pun tidak bisa. Aku lirik tenda Vin—yang terlihat rapuh—lampunya menyala. “Vin, apa kau belum tidur?” aku mencoba mencari kehidupan. Tapi tidak ada jawaban.
Aku mendengar suara risleting. Dari dalamnya, muncul kepala Vin. “Belum. Aku tidak bisa tidur. Apa kau juga?”
Aku menoleh. Tersenyum karena ada teman berbincang. “Ya. Aku tidak bisa. Entah kenapa, tapi, aku tidak mengantuk.” Kataku. Udara malam di tempat ini cukup dingin. Aku mengusap lenganku untuk mencari kehangatan.
“Ini. Pakai ini.” Dia memakaikan jaketnya ke tubuhku. Sekarang tinggal kaus pendek yang bertandang di tubuhnya.
“Tidak usah. Apa kau tidak merasakan betapa dinginnya malam ini?” tanyaku sambil mengembalikan jaketnya.
Vin hanya tersenyum. “Pakailah. Aku berani bersumpah aku sangat kegerahan di dalam sana.” Dia menunjuk tendanya.
“Baiklah, terima kasih.”
“Hei, kenapa kau jadi canggung seperti itu?!” tanyanya.
“HEI! Enak saja!”
“Heiii.. tenanglah. Pipimu jangan merah seperti itu.”
Aku malu. Sungguh. Aku diam. Menunduk. Apa benar? Pikirku.
“Hei, Bel. Aku hanya bercanda!” Vin menenangkan.
Fiuhh.
“Bel.” Vin memanggil. Aku menoleh ke arahnya. “Tentang orang yang aku suka.”
“Kenapa?”
“Aku sudah meyakinkan diriku. Aku suka dia, sejak awal aku mengenalnya.” Vin tersenyum. Menerawang.
Aku sedikit risih mendengarnya. Atau bahkan, aku tidak suka mendengar Vin bercerita tentang ini semua. Tapi kupaksakan mendengarnya. Bersikap sewajarnya. “Apa kau mau menyebutkan namanya, Vin?” huuh.. susah payah aku mengatakannya. Aku harus siap-siap mendengar apa yang akan diucapkan Vin.
“Kau kenal Rin, ‘kan?” tanyanya.
Aku mengernyitkan dahiku. Maksudnya apa? Tentu saja aku kenal. Dia teman kami. “Tentu saja.” aku menjawab.
“Ya. Dia. Rin lah orang itu, Bel.”
Deg! Aku tertegun. Perasaan apa ini? Sungguh, apakah.. aku cemburu? Tidak.. harusnya tidak seperti ini.
“Bisakah aku memercayakan cerita ini padamu? Aku ingin kau menyimpannya. Jangan kau katakan pada Rin, ya.” Vin menjelaskan. Senyum di wajahnya masih merekah. “Biar aku. Biar aku saja yang mengatakannya suatu waktu.” Lanjutnya.
“Oh. Ya. Aku akan menyimpannya baik-baik.” Aku masih tidak percaya. Aku ingin kembali ke dalam tenda saja. “Ah, Vin. Sudah malam. Bagaimanapun kita harus tetap tidur. Besok kita akan berkeliling ke hutan, ‘kan?” aku mengalihkan pembicaraan.
“oh, iya. Sudah hampir jam dua belas. Silakan. Sampai bertemu lagi, Bel.” Vin tersenyum. Sedangkan aku hanya mengangguk kecil.
***
Setelah kejadian malam itu, aku terus mencoba bersikap wajar pada Vin dan Rin. Apa aku jadi orang ketiga di antara mereka? Apa Rin merasakan hal yang sama terhadap Vin? Hanya itu hal yang akhir-akhir ini ada di benakku.
Seminggu lagi perpisahan SMA. Vin akan kuliah ke luar kota. Rin kuliah di salah satu universitas swasta. Aku sendiri berniat mencari universitas terdekat. Sementara minggu ini, kegiatan hanya diisi dengan persiapan wisuda. Sesekali diselingi pertemuan dengan kepala sekolah.
Ya.. enam hari lagi…
***
Wisuda sudah selesai. Prestasi teman-temanku ternyata sangat bertebaran. Aku hanya menyumbang dua. Rin meyumbang lima. Vin.. dia belum menyumbang pada kesempatan ini.
“Kita harus mengabadikan momen ini. Kapan lagi kita melihat Rin memakai make-up seperti ini, Vin?” aku berseru riang.
Vin berlari kecil ke arahku. Senyumnya merekah mendengar ucapanku. Setelah Vin datang, kami berlari ke arah Rin.
“Bolehkah aku berdua dulu foto dengan Rin?” Tanya Vin.
Aku merengut. Berusaha terlihat berpura-pura walau nyatanya aku tak suka. “Ya sudah.” Kataku akhirnya. Vin di sana hanya mengerling ke arahku.
Satu foto. Dua foto. Tiga… aku bosan.
“Hei, apa kau benar-benar tidak ingin berfoto denganku, Vin?”
“Oh, maaf, aku terlalu asyik.”
Wajah Rin kini sudah terlipat. Dia terlihat kesal karena banyak yang memintanya berfoto berdua. “Apa-apaan ini?!!! Lihat!! Aku lelahhh….” Yaaaaa.. itu keluhan Rin yang sudah kudengar sejak setengah jam yang lalu.
Aku dan Vin terbahak mendengarnya. Terlebih lagi, wajah Rin sangat pilu.
Setelah puas berfoto, kami mengobrol sekadar membuang waktu sebelum berpisah. “Emm, aku ingin ke belakang. Kutinggal sebentar, ya.” Aku beranjak meninggalkan Vin dan Rin.
Tak lama setelah dari toilet, aku kembali. Aku melihat Vin dan Rin sepertinya sedang terlibat dalam pembicaraan cukup serius. Aku tidak ingin mengganggu. Bukan, lebih tepatnya aku tidak ingin sakit hati karena mengetahui isi pembicaraan itu. Aku pergi berbincang dengan kawan lain. Cukup lama sampai akhirnya Vin memanggilku.
Vin berjalan ke arahku diikuti Rin. Muka keduanya merah. Eh.. sepertinya dugaanku benar.
***
Hari ini Vin akan berangkat. Aku mengantarnya. Tanpa Rin, dia jatuh sakit. Untuk pertama kali aku menangis karena Vin. Dia mendekapku. Menyembunyikanku dari tatapan orang-orang yang berlalu-lalang.
“Hei, Bel, kau kenapa? Tidak seperti ini Bel yang kukenal.” Dia tertawa. “Jangan membuatku merasa bersalah meninggalkanmu.”
“Bodoh! Mana mungkin aku melepasmu begitu saja, Vin? Kau berhutang banyak padaku.”
“Hahaha, akan kubayar semua ketika aku kembali, Bel.” Dia melepasku dari pelukannya. “Sudah, jangan menagis lagi.” Vin merogoh tasnya. Ada dua kotak yang terbungkus kertas coklat polos. Ada namaku di salah satu kotak itu, dan nama Rin di kotak lainnya. “Ini, untukmu. Yang satu ini, aku titip padamu. Aku ragu untuk memberikannya pada Rin, kalau memang sudah ada di tanganmu, semua kuserahkan padamu. Kau bisa memberikannya pada Rin, tapi, kau juga bisa menyimpannya. Tapi jangan kau buka.” Ia menjelaskan panjang lebar.
“Baiklah..” aku menyetujuinya.
“Aku berangkat sekarang, Bel. Jaga dirimu. Aku titip Rin, ya.” Vin tersenyum. Memelukku.
Kali ini aku membalasnya. “Hati-hati. Kabari aku dan Rin.” Aku masih mendekapnya. “Vin..”
“Aku janji tidak akan melupakanmu dan Rin.”
“Vin..” aku mengulang.
“Ada apa?” tanyanya,
Banyak orang yang memperhatikan kami. “Aku mencintaimu..” deg! Aku mengatakannya.
“Ah, Bel, namaku sudah dipanggil.”  Vin melepaskan dekapannya. “Aku benar-benar harus pergi.” Vin tersenyum lagi. “Sampai jumpa!”
Aku masih memandanginya. Menatap punggungnya yang menjauh. Aku yakin, kata-kataku yang tadi tidak terdengar. Sangat yakin. Tempat ini sangat ramai. Sangat berisik. Sangat-sangat.
***
Aku kembali ke rumah. Lantas masuk ke kamar menimang kotak pemberian Vin. Kubuka milikku. Isinya notes lucu dan sebuah boneka hamtaro. Ada pesan di dalam notes tersebut.
Sekarang, yang kutimang adalah kotak untuk Rin. Aku sangat ingin tahu apa isinya. Tapi, aku hargai privasi Rin. Aku memilih memberikannya saja. daripada aku dihantui rasa ingin tahu.
Besok. Besok aku akan ke rumah Rin.
***
Empat tahun berlalu. Kami lulus tepat waktu.
Besok Vin pulang. Aku dan Rin berencana menjemputnya di stasiun kereta. Aku tidak sabar bertemu dengan Vin lagi.
Di Stasiun, Rin duduk dengan tenang. Sebaliknya, aku gelisah, senang dan lain-lain perasaan bercampur menjadi satu.
“Hei, Bel! Aku yakin kau bisa lebih tenang sedikit.” Rin protes melihat tingkahku.
Aku menggerutu. “Tidak bisa.” Kataku kesal.
Rin menyerah. “Ya sudah.”
Kereta datang. Penumpang dimuntahkan dari dalam gerbong. Ratusan, bahkan ribuan jumlahnya. Di mana Vin?
“Bel!” aku mendengar teriakan dari suara yang kukenal. Vin!
Aku menoleh gembira. Tapi, senyum yang awalnya merekah hampir padam ketika aku menyadari bahwa Rin sudah ada dalam rangkulan Vin. “Hai!” aku menyapa seolah berbunga-bunga.
“Bel, aku dan Rin akan menikah.” Kata Vin tiba-tiba. Jantungku seakan ditimpa batu berat dan tajam. Sakit. “Maaf baru mengabarkan ini padamu. Karena semuanya belum pasti sampai bulan lalu.”
“Oh ya? Aku turut senang, Vin. Akhirnya cintamu terbalas.” Kataku sumringah—pura-pura sumringah, maksudku.
Apa-apaan ini? Vin bilang akan membayar semua hutangnya padaku. Nyatanya tidak. Maksudku, hutang itu.. sebuah perasaan yang sama. Bukan.. bukan yang lain.
“Ini semua berkat kau, Bel. Kau memilih memberikan kotak yang kutitipkan padamu untuk Rin. Sebenarnya, isi dari kotak itu adalah surat lamaranku. Terima kasih untukmu, Bel!”
DEG!!!! Betapa hancur hatiku mendengarnya. Semua karenaku, Vin bilang? “Aku turut bahagia.” Aku tersenyum, agak kecut.
Mengapa ini semua terjadi? Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakah ini akan tetap terjadi? Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakan Vin akhirnya bisa ‘melihatku’? Kalau saja kotak itu tidak kuberikan, apakah mereka tetap akan bersatu? Kalau saja waktu itu kutegaskan kata-kataku bahwa aku mencintai Vin, apakah Vin akan kembali untukku? Bukan Rin.
Kalau saja aku mengatakan yang sesungguhnya, walaupun tidak terbalas, setidaknya aku lega.
Ah.. sungguh, kalau saja…

30 April 2015, 23 :32 pm